BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Buaya
muara merupakan salah satu jenis satwa liar karnivor yang bersifat pemakan
daging atau satwa lainnya. Satwa ini tergolong kedalam kategori satwa langka
dan dilindungi. Di Indonesia buaya muara dapat ditemukan hampir diseluruh perairan
Indonesia terutama aliran-aliran sungai hingga di muara sungai yang mendekati
lautan seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Irian Jaya. Penurunan populasi buaya ini
disebabkan oleh rusaknya habitat alaminya dan terjadi pemburuan liar. Oleh
karena itu perlu adanya upaya pelestarian dengan cara manajemen pengelolaan
satwa tersebut tanpa mengabaikan aspek ekonomis, finansial serta manfaat fisik
wilayahnya.
Manjemen
pengelolaan satwa liar dalam kawasan konservasi tidak terlepas dari pengelolaan
habitat alami satwa tersebut. Dalam pengelolaan habitat, makanan menjadi faktor
pembatas bagi perkembangbiakan satwa tersebut. Salah
satu bentuk usaha pelestarian dan pemanfaatan buaya adalah dengan kegiatan
penangkaran. Fungsi penting penangkaran buaya yaitu untuk menjaga kelestarian
populasi buaya di alam dan pemanfaatan secara lestari dengan tujuan ekonomi,
antara lain menghasilkan produk bernilai tinggi, sebagai objek rekreasi, sarana
pendidikan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan, serta dapat
memberikan lapangan pekerjaan.
1.2
Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah
·
Mengetahui pakan buaya
muara yang ada di penangkaran CV Surya Raya Balikpapan.
·
Mengetahui pola perilaku
makan buaya muara di penangkaran CV Surya Raya Balikpapan.
·
Mengetahui teknik
pengelolaan dan pengolahan pakan buaya muara yang dilakukan pengelola di
penangkaran CV Surya Raya Balikpapan.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Taksonomi
Menurut
Grzimek (1975) dari segi taksonomi buaya diklasifikasikan kedalam:
Kingdom : Animalia
Filum : Vertebrata
Kelas : Reptilia
Ordo : Crocodilia
Famili : Crocodylidae
Genus : Crocodylus
Spesies : Crocodylus
porosus Schneider 1801
2.2
Morfologi
Menurut Sandjojo
(1982) buaya muara mempunyai panjang moncong 1,67-2,25 kali lebar dasar
kepalanya dengan gerigi yang kuat pada sisi depan matanya. Terdapat 17-19 gigi
atas pada setiap sisinya. Iskandar (2000) menyebutkan sisik belakang kepala 0-4
buah, sisik samping tubuh umumnya tidak membesar, belakang dubur umumnya paling
banyak ada dua sisik kecil. Sanjdojo (1982) dan Ratnani (2007) menyebutkan
buaya ini memiliki ekor yang kuat, berjambul, terdapat bercak berwarna hitam
membentuk belang yang utuh, terdapat bintik-bintik hitam dikepalanya,
bercak-bercak hitam di tubuh dan ekornya, dan buaya muara dewasa bisa mencapai
panjang 6 hingga 10 m.
2.3 Perilaku
buaya
muara relatif tidak memiliki banyak tingkah. Dalam kehidupan sehari-hari buaya
dapat mengatur suhu tubuh. Buaya menyukai suhu tubuh lebih dari 30 - 33 °C,
dilakukan dengan cara menggunakan air, matahari dan bayangan untuk mengatur
suhu tubuh mereka dan bergerak di antara dingin dan hangat pada lingkungan
mereka tinggal untuk menyesuaikan dengan suhu tersebut. Mereka secara teratur
terlihat berjemur di bawah sinar matahari dengan mulut terbuka lebar.
2.4 Karekteristik Habitat
Menurut Fakultas
Kehutanan IPB (1990) secara umum pergerakan buaya meliputi daerah berawa (rawa
payau dan rawa air tawar) terutama daerah rawa yang terdapat tumbuhan penutup
(nipah, pandan, rumput dan perdu) sebagai tempat berlindung, aliran sungai yang
berarus tenang, danau-danau yang di sekitarnya banyak ditumbuhi vegetasi, dan
daerah pertemuan antara sungai dan laut (muara). Majid (2009) menyebutkan bahwa
buaya merupakan satwa yang hidupnya sebagian besar di air. Jika siang hari
buaya berjemur di tepian sungai dan di tempat terbuka.
2.5 Pakan
Habitat
merupakan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya
baik makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung,
berkembangbiak, maupun tempat unutk mengasuh anak-anaknya (Alikodra
2002). Satwa liar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang
diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Menurut Alikodra (1983) dalam
Nugraha (2007) komponen lingkungan hidup banteng yang ideal terdiri dari hutan
alam primer, semak-semak, padang penggembalaan, sumber air, hutan pantai, hutan
payau dan laut.
Pakan merupakan salah satu komponen penting yang sangat dibutuhkan satwa liar
untuk dapat tumbuh dan berkembangbiak. Tumbuhan pakan yang berpotensi menjadi
pakan satwa liar adalah tumbuhan yang dapat dijangkau dan dimanfaatkan oleh
satwa liat tersebut. Menurut Alikodra (1983), potensi makanan (penyebaran dan
nilai gizinya) di alam sangat berkaitan erat dengan kondisi musim.
Alikodra
(1983) menambahkan bahwa makanan mempunyai fungsi penting sebagai sumber energi
untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup satwa, seperti menggantikan bagian
tubuhyang rusak, memelihara fungsi-fungsi dasar tubuh, perkembangbiakan,
pertumbuhan satwa muda, mempertinggi dayatahantubuh terhadap penyakit, dan
lain-lain. Secara umum, keadaan pakan satwa di suatu habitat tidak selalu
tersedia dengan cukup, sempurna serta merata, melainkan seringkali mengalami
kekurangan, gangguan, kerusakan atau penurunan.
Menurut Thohari (1987a), faktor makanan
memegang peranan kunci dalam suatu usaha penangkaran satwa. Seperti halnya pada
usaha peternakan intensif, biaya untuk makanan hampir mencapai 75 % dari total
biaya produksi. Tingginya biaya pakan dapat dipakai sebagai suatu gambaran bagi
usaha penangkaran satwaliar. Menurut Ratnani (2007) buaya muara memangsa
berbagai macam daging, ikan hingga mamalia besar. Taylor (1979) menyebutkan
bahwa kebutuhan makanan buaya berbeda-beda tergantung beberapa faktor seperti
spesies, jenis kelamin, umur, aktifitas dan keadaan lingkungan. Menurut
Hardjanto dan Masyud (1991) beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
penyediaan makanan buaya, yakni:
·
Jenis-jenis
makanan yang biasa dimakan buaya, disesuaikan dengan umurnya.
·
Jumlah
makanan yang diperlukan buaya untuk mencapai pertumbuhan atau produksi
maksimal.
·
Cara
penyediaan ransum buaya sesuai umur, aktifitas buaya, dan tujuan pemeliharaan
(misalnya untuk pembesaran, pembibitan, dll).
2.6
Penyebaran
Menurut
Britton (2003), buaya muara tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia
terutama aliran-aliran sungai hingga di muara sungai yang mendekati lautan
seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Irian Jaya. Buaya muara juga terdapat
di Australia Utara, Banglades, Brunei, Myanmar, Kamboja, Cina, India, Kepulauan
Solomon, Kepulauan Fiji, Malaysia, Pulau Caroline, Papua New Guinea, Philipina,
Singapura, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam.
BAB
III
METODE
PENGAMBILAN DATA
3.1
Lokasi dan Waktu
3.2
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan
antara lain alat tulis, buku, jurnal, skripsi, laporan, makalah, dan lain-lain.
3.3
Metode Pengambilan Data
Metode yang digunakan
dalam praktikum ini adalah studi iteratur dari jurnal ilmiah, skripsi, makalah,
buku dan laporan ilmiah lain yang dapat digunakan sebagai referensi.
3.4
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara
deskriptif untuk memperoleh data tentang keanekaragaman jenis pakan
banteng, palatabilitas pada banteng dan pengelolaan pakan yang dilakukan
di kawasan konservasi Taman Nasional
Ujung Kulon.
BAB
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis pakan yang diberikan untuk buaya muara yang terdapat di penangkaran buaya
CV Surya Raya berupa ayam broiler, ikan tembang, dan daging sapi. Jenis pakan
yang paling sering diberikan yaitu ayam broiler dan ikan tembang. Jenis pakan
tersebut biasanya dipilih yang harganya paling murah namun kualitasnya masih
baik dan disukai buaya. Hal tersebut sesuai dengan yang disebutkan Hardjanto
dan Masyud (1991), bahwa pemberian pakan pada buaya tidak hanya bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan pokok, tetapi juga untuk mencapai tingkat produksi
setinggi-tingginya dalam waktu singkat dengan biaya yang semurah-murahnya.
Elmir (2008) menambahkan bahwa pemilihan pakan yang tepat dapat mempercepat
pertumbuhan buaya di penangkaran bila dibandingkan pertumbuhan buaya di alam.
Sumber pakan
diperoleh dari kerjasama pihak pengelola dengan beberapa peternakan ayam
broiler di Balikpapan, salah satunya yaitu peternakan ayam broiler CV Borneo
Kombet Balikpapan, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Manggar; catering Tata
Boga dan catering ISS yang melayani perusahaan-perusahaan yang terdapat
di Balikpapan. Sumber pakan juga diperoleh dari pengunjung yang datang.
Penangkaran menyediakan pakan berupa ayam broiler yang sudah mati yang
disediakan untuk pengunjung penangkaran yang ingin melihat aktifitas makan
buaya. Pengelola menjual ayam tersebut dengan harga Rp 10.000 per ekor. Warga
sekitar penangkaran juga memiliki kontribusi bagi ketersediaan pakan, karena
biasanya warga memberikan ternaknya yang mati seperti ayam, bebek, atau kambing
untuk pakan buaya.
Jumlah pakan yang
diberikan di penangkaran CV Surya Raya pada tiap kandang disesuaikan dengan
kelas umur buaya dan ketersediaan pakan dari sumber pakan. Pada saat
ketersediaan pakan dari sumber pakan banyak maka 38 pakan yang diberikan tiap
kandang juga banyak, pada saat ketersediaan pakan terbatas maka pakan yang
diberikan tiap kandang diperkirakan merata. Menurut Taylor (1979), kebutuhan
makanan buaya berbeda-beda tergantung dari berbagai faktor seperti spesies,
jenis kelamin, umur, aktifitas, dan keadaan lingkungan.
Pemberian pakan di penangkaran CV Surya
Raya biasanya dilakukan 2 kali dalam seminggu pada pagi atau sore hari
tergantung ketersediaan pakan yang ada. Hal tersebut sesuai dengan yang
disebutkan Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana Conserve (1987) dalam Ginoga
dan Suzanna (1995), bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan maksimal buaya harus
diberi makan dengan frekuensi pemberian makan pada anakan buaya satu kali
sehari, sedangkan untuk buaya yang sedang dibesarkan dan buaya induk diberikan
2-3 kali seminggu. Ginoga dan Suzanna (1995) menyebutkan bahwa pemberian pakan
pada buaya sebaiknya diberikan pada waktu sore hari dan makanan tersebut
terlindung dari sinar matahari. Hal ini disebabkan aktifitas buaya lebih tinggi
pada malam hari, begitu pula halnya dengan aktifitas makan buaya lebih tinggi
pada malam hari dibandingkan siang hari. Jenis pakan seperti ayam, ikan, dan
daging tidak disajikan secara bersamaan, tetapi dilakukan pergiliran sesuai
ketersediaan pakan yang ada pada sumber pakan. Penyediaan pakan dalam sekali
pemberian pakan untuk keseluruhan buaya yang terdapat di penangkaran CV Surya
Raya berkisar 700-1.000 kg (1 ton) ikan atau ayam, tergantung ketersediaan dari
sumber pakan.
Anakan buaya yang baru menetas tidak diberi
makan hingga berumur 1-2 minggu, hal ini karena anakan yang baru menetas masih
menggunakan persediaan kuning telur yang terdapat di dalam tubuhnya sebagai
bahan makanan. Gumilar (2007) menyebutkan bahwa anakan buaya yang baru menetas
umur 7-10 hari masih menggunakan bahan makanan berupa persediaan kuning telur yang
terdapat dalam tubuhnya sehingga tidak perlu diberi makan. Setelah persediaan
kuning telur dalam tubuhnya habis, barulah anakan buaya tersebut diberi makan.
Berdasarkan Tabel 9, penyajian pakan berupa ayam untuk anakan buaya dan buaya
muda disajikan dengan menghilangkan bulunya agar pakan mudah dicerna. Gumilar
(2007) menyebutkan bahwa kandungan ceratin yang terdapat pada bulu ayam tidak
dapat dicerna oleh buaya, sehingga bisa mengakibatkan obstruksi (sulit untuk
buang air besar) pada saluran pencernaan. Pakan untuk anakan buaya dan buaya
muda juga disajikan dengan potongan-potongan kecil agar pakan mudah
ditelan dan dicerna buaya (Gambar 15). Kondisi tersebut sesuai dengan yang
disebutkan Ditjen PHPA (1976) bahwa anakan buaya baru dapat menangkap serangga
dan sejenisnya hanya yang berukuran kecil dan mudah ditangkap.
Anakan buaya
yang baru menetas hingga berumur 3 bulan biasanya masih dalam keadaan kritis,
memiliki sensitifitas yang sangat tinggi terhadap lingkungan dan kebisingan,
dan memiliki resiko kematian yang cukup tinggi sehingga memerlukan perawatan
dan perhatian yang lebih intensif, salah satunya dalam hal pemberian pakan.
Sebelum pakan diberikan, petugas terlebih dahulu menambahkan vitamin yang
dicampurkan ke dalam makanannya. Vitamin tersebut berguna untuk penambah nafsu
makan, mengurangi stres dan menjaga ketahanan tubuh. Penambahan vitamin
tersebut dilakukan pada awal anakan buaya tersebut mulai diberi makanan dan
disaat-saat ia butuh tambahan vitamin. Anakan buaya sengaja dilatih petugas untuk
memakan sendiri, namun jika perut anakan buaya terlihat lebih kecil dari yang
lainnya, maka pakan diberikan dengan cara disuapkan.
Pakan
untuk anakan buaya dan buaya muda juga disajikan dengan potongan-potongan kecil
agar pakan mudah ditelan dan dicerna buaya. Kondisi tersebut sesuai dengan yang
disebutkan Ditjen PHPA (1976) bahwa anakan buaya baru dapat menangkap serangga
dan sejenisnya hanya yang berukuran kecil dan mudah ditangkap. Anakan buaya
yang baru menetas hingga berumur 3 bulan biasanya masih dalam keadaan kritis,
memiliki sensitifitas yang sangat tinggi terhadap lingkungan dan kebisingan,
dan memiliki resiko kematian yang cukup tinggi sehingga memerlukan perawatan
dan perhatian yang lebih intensif, salah satunya dalam hal pemberian pakan.
Sebelum pakan diberikan, petugas terlebih dahulu menambahkan vitamin yang
dicampurkan ke dalam makanannya. Vitamin tersebut berguna untuk penambah nafsu
makan, mengurangi stres dan menjaga ketahanan tubuh. Penambahan vitamin
tersebut dilakukan pada awal anakan buaya tersebut mulai diberi makanan dan
disaat-saat ia butuh tambahan vitamin. Anakan buaya sengaja dilatih petugas
untuk memakan sendiri, namun jika perut anakan buaya terlihat lebih kecil dari
yang lainnya, maka pakan diberikan dengan cara disuapkan.
BAB V
KESIMPULAN
Pakan buaya muara yang
berada di Pebangkaran CV Surya Raya Balikpapan berupa ayam broiler, ikan
tembang, dan daging sapi. Jenis pakan yang paling sering diberikan yaitu ayam
broiler dan ikan tembang. Jumlah pakan yang diberikan di penangkaran CV Surya
Raya pada tiap kandang disesuaikan dengan kelas umur buaya dan ketersediaan
pakan dari sumber pakan. Pemberian pakan di penangkaran CV Surya Raya pada
anakan buaya satu kali sehari, sedangkan untuk buaya yang sedang dibesarkan dan
buaya induk diberikan 2-3 kali seminggu. Buaya bukan tipe pemangsa aktif,
tetapi lebih sering menunggu. Gigi digunakan untuk memotong tapi tidak digunakan
untuk mengunyah. Setelah buaya melumpuhkan mangsanya dengan cara menyeretnya ke
dalam air, setelah itu buaya tersebut akan cepat menelannya. Sedangkan bagi
mangsa yang lebih besar akan dibunuh dahulu dan kemudian dibagi menjadi
beberapa bagian sehingga akan lebih mudah ditelan.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 1983. Ekologi Banteng (Bos javanicus d’Alton) di Taman Nasional
Ujung Kulon [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan
Satwaliar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB.
Britton A. 2001. Crocodilian Captive Care F.A.Q. www.Crocodile.com
[8 Oktober 2010].
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian
Alam [Ditjen PHPA]. 1976. Studi Habitat
dan Kemungkinan Pengembangan Populasi Buaya di Daerah Aliran Sungai Lalan dan
Palembang Sumatera Selatan. Bogor: Kerjasama Fakultas Perikanan IPB dengan
Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam dalam Proyek Penyelamatan dan
Pengembangan Suaka Alam Hutan Wisata dan Satwa yang Dilindungi.
Elmir MY. 2008. Studi pengaruh pemberian makanan
terhadap pertumbuhan buaya muara (Crocodylus porosus) pada penangkaran
PT Ekanindya Karsa di Cikande Kabupaten Serang [skripsi]. Bogor: Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor.
Fakultas Kehutanan IPB. 1990. Studi Kelayakan Pengusahaan Buaya di Irian Jaya. Bogor: Fahutan IPB.
Ginoga LN dan Suzanna E. 1995. Pengaruh pemberian
ransum buatan terhadap pertumbuhan anakan buaya muara (Crocodylus porosus).
Media Konservasi IV (4): 255-267.
Grzimek B. 1975. Animal Life Encyclopedia. Volume
ke-6, Reptilia. London: Van Nostrand Reinhold Company.
Gumilar F. 2007. Studi penetasan dan pertumbuhan telur
hatchling buaya muara (Crocodylus porosus) di penangkaran PT
Ekanindya Karsa Cikande Kabupaten Serang [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor.
Hardjanto dan Masyud B. 1991. Analisis Kelayakan Finansial Pengusahaan Buaya di Irian Jaya.
Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Iskandar DT. 2000. Kura-Kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini dengan Catatan Mengenai
Jenis-Jenis di Asia Tenggara. Bandung: PALMedia Citra.
Majid AA. 2009. Sebaran spasial dan karakteristik
habitat buaya air tawar irian (Crocodylus novaeguineae Schmidt, 1928) di
Taman Nasional Wasur [skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Nugraha H. 2007. Analisis Pola
Penggunaan Ruang Banteng (Bos javanicus
d’Alton 1832) Di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pangandaran, Jawa Barat.
Bogor : Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Ratnani B. 2007. Analisis manajemen penangkaran buaya
pada PT Ekanindya Karsa di Cikande Kabupaten Serang [skripsi]. Bogor:
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor.
Sandjojo I. 1982. Studi kemungkinan usaha penangkaran
buaya [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor.
Taylor JA. 1979. The Food and Feeding Habits of
Subadult Crocodylus porosus Schneider in Northern Australia. Australia
Wildlife Resources 6: 347-359.
Thohari M. 1987a. Upaya penangkaran satwaliar. Media
Konservasi I (3): 23-25.
hallo mbaknya, apakah laporan ini pernah dipublikasikan secara ilmiah? atau ada bentuk resminya yang bisa disadur? terimakasih
ReplyDelete