Tuesday, September 22, 2015

PENGELOLAAN PAKAN BUAYA DI HABITAT PENANGKARAN CV SURYA RAYA BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Buaya muara merupakan salah satu jenis satwa liar karnivor yang bersifat pemakan daging atau satwa lainnya. Satwa ini tergolong kedalam kategori satwa langka dan dilindungi. Di Indonesia buaya muara dapat ditemukan hampir diseluruh perairan Indonesia terutama aliran-aliran sungai hingga di muara sungai yang mendekati lautan seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Irian Jaya. Penurunan populasi buaya ini disebabkan oleh rusaknya habitat alaminya dan terjadi pemburuan liar. Oleh karena itu perlu adanya upaya pelestarian dengan cara manajemen pengelolaan satwa tersebut tanpa mengabaikan aspek ekonomis, finansial serta manfaat fisik wilayahnya.
Manjemen pengelolaan satwa liar dalam kawasan konservasi tidak terlepas dari pengelolaan habitat alami satwa tersebut. Dalam pengelolaan habitat, makanan menjadi faktor pembatas bagi perkembangbiakan satwa tersebut. Salah satu bentuk usaha pelestarian dan pemanfaatan buaya adalah dengan kegiatan penangkaran. Fungsi penting penangkaran buaya yaitu untuk menjaga kelestarian populasi buaya di alam dan pemanfaatan secara lestari dengan tujuan ekonomi, antara lain menghasilkan produk bernilai tinggi, sebagai objek rekreasi, sarana pendidikan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan, serta dapat memberikan lapangan pekerjaan.

1.2    Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah
·         Mengetahui pakan buaya muara yang ada di penangkaran CV Surya Raya Balikpapan.
·         Mengetahui pola perilaku makan buaya muara di penangkaran CV Surya Raya Balikpapan.
·         Mengetahui teknik pengelolaan dan pengolahan pakan buaya muara yang dilakukan pengelola di penangkaran CV Surya Raya Balikpapan.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi
Menurut Grzimek (1975) dari segi taksonomi buaya diklasifikasikan kedalam:
Kingdom         : Animalia
Filum               : Vertebrata
Kelas               : Reptilia
Ordo                : Crocodilia
Famili              : Crocodylidae
Genus              : Crocodylus
Spesies : Crocodylus porosus Schneider 1801

2.2 Morfologi
  Menurut Sandjojo (1982) buaya muara mempunyai panjang moncong 1,67-2,25 kali lebar dasar kepalanya dengan gerigi yang kuat pada sisi depan matanya. Terdapat 17-19 gigi atas pada setiap sisinya. Iskandar (2000) menyebutkan sisik belakang kepala 0-4 buah, sisik samping tubuh umumnya tidak membesar, belakang dubur umumnya paling banyak ada dua sisik kecil. Sanjdojo (1982) dan Ratnani (2007) menyebutkan buaya ini memiliki ekor yang kuat, berjambul, terdapat bercak berwarna hitam membentuk belang yang utuh, terdapat bintik-bintik hitam dikepalanya, bercak-bercak hitam di tubuh dan ekornya, dan buaya muara dewasa bisa mencapai panjang 6 hingga 10 m.

2.3 Perilaku
            buaya muara relatif tidak memiliki banyak tingkah. Dalam kehidupan sehari-hari buaya dapat mengatur suhu tubuh. Buaya menyukai suhu tubuh lebih dari 30 - 33 °C, dilakukan dengan cara menggunakan air, matahari dan bayangan untuk mengatur suhu tubuh mereka dan bergerak di antara dingin dan hangat pada lingkungan mereka tinggal untuk menyesuaikan dengan suhu tersebut. Mereka secara teratur terlihat berjemur di bawah sinar matahari dengan mulut terbuka lebar.

2.4 Karekteristik Habitat
Menurut Fakultas Kehutanan IPB (1990) secara umum pergerakan buaya meliputi daerah berawa (rawa payau dan rawa air tawar) terutama daerah rawa yang terdapat tumbuhan penutup (nipah, pandan, rumput dan perdu) sebagai tempat berlindung, aliran sungai yang berarus tenang, danau-danau yang di sekitarnya banyak ditumbuhi vegetasi, dan daerah pertemuan antara sungai dan laut (muara). Majid (2009) menyebutkan bahwa buaya merupakan satwa yang hidupnya sebagian besar di air. Jika siang hari buaya berjemur di tepian sungai dan di tempat terbuka.

2.5 Pakan
            Habitat merupakan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya baik makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung, berkembangbiak, maupun tempat unutk mengasuh anak-anaknya (Alikodra 2002).  Satwa liar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Menurut Alikodra (1983) dalam Nugraha (2007) komponen lingkungan hidup banteng yang ideal terdiri dari hutan alam primer, semak-semak, padang penggembalaan, sumber air, hutan pantai, hutan payau dan laut.
            Pakan merupakan salah satu komponen penting yang sangat dibutuhkan satwa liar untuk dapat tumbuh dan berkembangbiak. Tumbuhan pakan yang berpotensi menjadi pakan satwa liar adalah tumbuhan yang dapat dijangkau dan dimanfaatkan oleh satwa liat tersebut. Menurut Alikodra (1983), potensi makanan (penyebaran dan nilai gizinya) di alam sangat berkaitan erat dengan kondisi musim.
Alikodra (1983) menambahkan bahwa makanan mempunyai fungsi penting sebagai sumber energi untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup satwa, seperti menggantikan bagian tubuhyang rusak, memelihara fungsi-fungsi dasar tubuh, perkembangbiakan, pertumbuhan satwa muda, mempertinggi dayatahantubuh terhadap penyakit, dan lain-lain. Secara umum, keadaan pakan satwa di suatu habitat tidak selalu tersedia dengan cukup, sempurna serta merata, melainkan seringkali mengalami kekurangan, gangguan, kerusakan atau penurunan.
Menurut Thohari (1987a), faktor makanan memegang peranan kunci dalam suatu usaha penangkaran satwa. Seperti halnya pada usaha peternakan intensif, biaya untuk makanan hampir mencapai 75 % dari total biaya produksi. Tingginya biaya pakan dapat dipakai sebagai suatu gambaran bagi usaha penangkaran satwaliar. Menurut Ratnani (2007) buaya muara memangsa berbagai macam daging, ikan hingga mamalia besar. Taylor (1979) menyebutkan bahwa kebutuhan makanan buaya berbeda-beda tergantung beberapa faktor seperti spesies, jenis kelamin, umur, aktifitas dan keadaan lingkungan. Menurut Hardjanto dan Masyud (1991) beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyediaan makanan buaya, yakni:
·         Jenis-jenis makanan yang biasa dimakan buaya, disesuaikan dengan umurnya.
·         Jumlah makanan yang diperlukan buaya untuk mencapai pertumbuhan atau produksi maksimal.
·         Cara penyediaan ransum buaya sesuai umur, aktifitas buaya, dan tujuan pemeliharaan (misalnya untuk pembesaran, pembibitan, dll).
2.6 Penyebaran
Menurut Britton (2003), buaya muara tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia terutama aliran-aliran sungai hingga di muara sungai yang mendekati lautan seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Irian Jaya. Buaya muara juga terdapat di Australia Utara, Banglades, Brunei, Myanmar, Kamboja, Cina, India, Kepulauan Solomon, Kepulauan Fiji, Malaysia, Pulau Caroline, Papua New Guinea, Philipina, Singapura, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam.




BAB III
METODE PENGAMBILAN DATA

3.1 Lokasi dan Waktu

3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan antara lain alat tulis, buku, jurnal, skripsi, laporan, makalah, dan lain-lain.

3.3 Metode Pengambilan Data
Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah studi iteratur dari jurnal ilmiah, skripsi, makalah, buku dan laporan ilmiah lain yang dapat digunakan sebagai referensi.

3.4 Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk memperoleh data tentang keanekaragaman jenis pakan banteng, palatabilitas pada banteng dan pengelolaan pakan yang dilakukan di  kawasan konservasi Taman Nasional Ujung Kulon.



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis pakan yang diberikan untuk  buaya muara yang terdapat di penangkaran buaya CV Surya Raya berupa ayam broiler, ikan tembang, dan daging sapi. Jenis pakan yang paling sering diberikan yaitu ayam broiler dan ikan tembang. Jenis pakan tersebut biasanya dipilih yang harganya paling murah namun kualitasnya masih baik dan disukai buaya. Hal tersebut sesuai dengan yang disebutkan Hardjanto dan Masyud (1991), bahwa pemberian pakan pada buaya tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok, tetapi juga untuk mencapai tingkat produksi setinggi-tingginya dalam waktu singkat dengan biaya yang semurah-murahnya. Elmir (2008) menambahkan bahwa pemilihan pakan yang tepat dapat mempercepat pertumbuhan buaya di penangkaran bila dibandingkan pertumbuhan buaya di alam.
Sumber pakan diperoleh dari kerjasama pihak pengelola dengan beberapa peternakan ayam broiler di Balikpapan, salah satunya yaitu peternakan ayam broiler CV Borneo Kombet Balikpapan, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Manggar; catering Tata Boga dan catering ISS yang melayani perusahaan-perusahaan yang terdapat di Balikpapan. Sumber pakan juga diperoleh dari pengunjung yang datang. Penangkaran menyediakan pakan berupa ayam broiler yang sudah mati yang disediakan untuk pengunjung penangkaran yang ingin melihat aktifitas makan buaya. Pengelola menjual ayam tersebut dengan harga Rp 10.000 per ekor. Warga sekitar penangkaran juga memiliki kontribusi bagi ketersediaan pakan, karena biasanya warga memberikan ternaknya yang mati seperti ayam, bebek, atau kambing untuk pakan buaya.   
Jumlah pakan yang diberikan di penangkaran CV Surya Raya pada tiap kandang disesuaikan dengan kelas umur buaya dan ketersediaan pakan dari sumber pakan. Pada saat ketersediaan pakan dari sumber pakan banyak maka 38 pakan yang diberikan tiap kandang juga banyak, pada saat ketersediaan pakan terbatas maka pakan yang diberikan tiap kandang diperkirakan merata. Menurut Taylor (1979), kebutuhan makanan buaya berbeda-beda tergantung dari berbagai faktor seperti spesies, jenis kelamin, umur, aktifitas, dan keadaan lingkungan.
Pemberian pakan di penangkaran CV Surya Raya biasanya dilakukan 2 kali dalam seminggu pada pagi atau sore hari tergantung ketersediaan pakan yang ada. Hal tersebut sesuai dengan yang disebutkan Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana Conserve (1987) dalam Ginoga dan Suzanna (1995), bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan maksimal buaya harus diberi makan dengan frekuensi pemberian makan pada anakan buaya satu kali sehari, sedangkan untuk buaya yang sedang dibesarkan dan buaya induk diberikan 2-3 kali seminggu. Ginoga dan Suzanna (1995) menyebutkan bahwa pemberian pakan pada buaya sebaiknya diberikan pada waktu sore hari dan makanan tersebut terlindung dari sinar matahari. Hal ini disebabkan aktifitas buaya lebih tinggi pada malam hari, begitu pula halnya dengan aktifitas makan buaya lebih tinggi pada malam hari dibandingkan siang hari. Jenis pakan seperti ayam, ikan, dan daging tidak disajikan secara bersamaan, tetapi dilakukan pergiliran sesuai ketersediaan pakan yang ada pada sumber pakan. Penyediaan pakan dalam sekali pemberian pakan untuk keseluruhan buaya yang terdapat di penangkaran CV Surya Raya berkisar 700-1.000 kg (1 ton) ikan atau ayam, tergantung ketersediaan dari sumber pakan.
Anakan buaya yang baru menetas tidak diberi makan hingga berumur 1-2 minggu, hal ini karena anakan yang baru menetas masih menggunakan persediaan kuning telur yang terdapat di dalam tubuhnya sebagai bahan makanan. Gumilar (2007) menyebutkan bahwa anakan buaya yang baru menetas umur 7-10 hari masih menggunakan bahan makanan berupa persediaan kuning telur yang terdapat dalam tubuhnya sehingga tidak perlu diberi makan. Setelah persediaan kuning telur dalam tubuhnya habis, barulah anakan buaya tersebut diberi makan. Berdasarkan Tabel 9, penyajian pakan berupa ayam untuk anakan buaya dan buaya muda disajikan dengan menghilangkan bulunya agar pakan mudah dicerna. Gumilar (2007) menyebutkan bahwa kandungan ceratin yang terdapat pada bulu ayam tidak dapat dicerna oleh buaya, sehingga bisa mengakibatkan obstruksi (sulit untuk buang air besar) pada saluran pencernaan. Pakan untuk anakan buaya dan buaya muda juga disajikan dengan potongan-potongan kecil agar pakan mudah ditelan dan dicerna buaya (Gambar 15). Kondisi tersebut sesuai dengan yang disebutkan Ditjen PHPA (1976) bahwa anakan buaya baru dapat menangkap serangga dan sejenisnya hanya yang berukuran kecil dan mudah ditangkap. 
Anakan buaya yang baru menetas hingga berumur 3 bulan biasanya masih dalam keadaan kritis, memiliki sensitifitas yang sangat tinggi terhadap lingkungan dan kebisingan, dan memiliki resiko kematian yang cukup tinggi sehingga memerlukan perawatan dan perhatian yang lebih intensif, salah satunya dalam hal pemberian pakan. Sebelum pakan diberikan, petugas terlebih dahulu menambahkan vitamin yang dicampurkan ke dalam makanannya. Vitamin tersebut berguna untuk penambah nafsu makan, mengurangi stres dan menjaga ketahanan tubuh. Penambahan vitamin tersebut dilakukan pada awal anakan buaya tersebut mulai diberi makanan dan disaat-saat ia butuh tambahan vitamin. Anakan buaya sengaja dilatih petugas untuk memakan sendiri, namun jika perut anakan buaya terlihat lebih kecil dari yang lainnya, maka pakan diberikan dengan cara disuapkan.
Pakan untuk anakan buaya dan buaya muda juga disajikan dengan potongan-potongan kecil agar pakan mudah ditelan dan dicerna buaya. Kondisi tersebut sesuai dengan yang disebutkan Ditjen PHPA (1976) bahwa anakan buaya baru dapat menangkap serangga dan sejenisnya hanya yang berukuran kecil dan mudah ditangkap. Anakan buaya yang baru menetas hingga berumur 3 bulan biasanya masih dalam keadaan kritis, memiliki sensitifitas yang sangat tinggi terhadap lingkungan dan kebisingan, dan memiliki resiko kematian yang cukup tinggi sehingga memerlukan perawatan dan perhatian yang lebih intensif, salah satunya dalam hal pemberian pakan. Sebelum pakan diberikan, petugas terlebih dahulu menambahkan vitamin yang dicampurkan ke dalam makanannya. Vitamin tersebut berguna untuk penambah nafsu makan, mengurangi stres dan menjaga ketahanan tubuh. Penambahan vitamin tersebut dilakukan pada awal anakan buaya tersebut mulai diberi makanan dan disaat-saat ia butuh tambahan vitamin. Anakan buaya sengaja dilatih petugas untuk memakan sendiri, namun jika perut anakan buaya terlihat lebih kecil dari yang lainnya, maka pakan diberikan dengan cara disuapkan.





BAB V
KESIMPULAN

Pakan buaya muara yang berada di Pebangkaran CV Surya Raya Balikpapan berupa ayam broiler, ikan tembang, dan daging sapi. Jenis pakan yang paling sering diberikan yaitu ayam broiler dan ikan tembang. Jumlah pakan yang diberikan di penangkaran CV Surya Raya pada tiap kandang disesuaikan dengan kelas umur buaya dan ketersediaan pakan dari sumber pakan. Pemberian pakan di penangkaran CV Surya Raya pada anakan buaya satu kali sehari, sedangkan untuk buaya yang sedang dibesarkan dan buaya induk diberikan 2-3 kali seminggu. Buaya bukan tipe pemangsa aktif, tetapi lebih sering menunggu. Gigi digunakan untuk memotong tapi tidak digunakan untuk mengunyah. Setelah buaya melumpuhkan mangsanya dengan cara menyeretnya ke dalam air, setelah itu buaya tersebut akan cepat menelannya. Sedangkan bagi mangsa yang lebih besar akan dibunuh dahulu dan kemudian dibagi menjadi beberapa bagian sehingga akan lebih mudah ditelan.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 1983. Ekologi Banteng (Bos javanicus d’Alton) di Taman Nasional Ujung Kulon [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB.
Britton A. 2001. Crocodilian Captive Care F.A.Q. www.Crocodile.com [8 Oktober 2010].
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam [Ditjen PHPA]. 1976. Studi Habitat dan Kemungkinan Pengembangan Populasi Buaya di Daerah Aliran Sungai Lalan dan Palembang Sumatera Selatan. Bogor: Kerjasama Fakultas Perikanan IPB dengan Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam dalam Proyek Penyelamatan dan Pengembangan Suaka Alam Hutan Wisata dan Satwa yang Dilindungi.
Elmir MY. 2008. Studi pengaruh pemberian makanan terhadap pertumbuhan buaya muara (Crocodylus porosus) pada penangkaran PT Ekanindya Karsa di Cikande Kabupaten Serang [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor.
Fakultas Kehutanan IPB. 1990. Studi Kelayakan Pengusahaan Buaya di Irian Jaya. Bogor: Fahutan IPB.
Ginoga LN dan Suzanna E. 1995. Pengaruh pemberian ransum buatan terhadap pertumbuhan anakan buaya muara (Crocodylus porosus). Media Konservasi IV (4): 255-267.
Grzimek B. 1975. Animal Life Encyclopedia. Volume ke-6, Reptilia. London: Van Nostrand Reinhold Company.
Gumilar F. 2007. Studi penetasan dan pertumbuhan telur hatchling buaya muara (Crocodylus porosus) di penangkaran PT Ekanindya Karsa Cikande Kabupaten Serang [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Hardjanto dan Masyud B. 1991. Analisis Kelayakan Finansial Pengusahaan Buaya di Irian Jaya. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Iskandar DT. 2000. Kura-Kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini dengan Catatan Mengenai Jenis-Jenis di Asia Tenggara. Bandung: PALMedia Citra.
Majid AA. 2009. Sebaran spasial dan karakteristik habitat buaya air tawar irian (Crocodylus novaeguineae Schmidt, 1928) di Taman Nasional Wasur [skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Nugraha H. 2007. Analisis Pola Penggunaan Ruang Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) Di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pangandaran, Jawa Barat. Bogor : Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Ratnani B. 2007. Analisis manajemen penangkaran buaya pada PT Ekanindya Karsa di Cikande Kabupaten Serang [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor.
Sandjojo I. 1982. Studi kemungkinan usaha penangkaran buaya [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Taylor JA. 1979. The Food and Feeding Habits of Subadult Crocodylus porosus Schneider in Northern Australia. Australia Wildlife Resources 6: 347-359.
Thohari M. 1987a. Upaya penangkaran satwaliar. Media Konservasi I (3): 23-25.

1 comments:

  1. hallo mbaknya, apakah laporan ini pernah dipublikasikan secara ilmiah? atau ada bentuk resminya yang bisa disadur? terimakasih

    ReplyDelete