BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Indonesia saat ini
menganut azas pemanfaatan jenis secara berkelanjutan (sustainable
utilization). Pemanfaatan secara berkelanjutan ini dilaksanakan dalam arti
pemanfaatan dapat dilakukan dalam bentuk pemanenan dari alam berdasarkan kuota
dan pemanfaatan dari jasa yang ditimbulkan oleh species tersebut. Pemanfaatan
dalam bentuk perdagangan, secara internasional diatur melalui konvensi yang
dikenal dengan CITES (Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora). Untuk
melaksanakan ini Indonesia menerapkan prinsip-prinsip pemanfaatan
berkelanjutan yang berdasar pada (1) prinsip pemanfaatan tidak merusak (non
detriment findings) dan (2) prinsip kehati-hatian (precautionary
principle). Prinsip-prinsip tersebut selalu mendasari pengembangan
kebijakan pengelolaan pemanfaatan jenis yang berkelanjutan. Salah satu dasar
ilmiah pelaksanaan prinsip non detriment findings dan prinsip kehati -
hatian (precautionary) adalah pemanenan berdasar teori Maximum
Sustainable Yield (MSY). Indikator MSY dikembangkan berdasarkan konsep
ekologi yang dikenal dengan Daya Dukung (carrying capacity) (Direktorat
KKH 2006).
Penangkaran satwa liar merupakan salah satu usaha yang ditujukan
untuk melestarikan populasi suatu jenis satwa liar tanpa mengubah sifat-sifat
alami dari satwa yang ditangkarkan dan atau untuk tujuan perdagangan. Salah
satu tujuan penangkaran satwa liar adalah untuk mendapatkan spesimen dalam
jumlah, mutu, kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik yang terjamin, untuk
kepentingan pemanfaatan sehingga mengurangi tekanan langsung terhadap populasi
di alam.
Untuk mempertahankan jenisnya maka, suatu organisme Akan
melakukan perkembangbiakan. Sistem yang berperan dalam perkembangbiakan hewan
adalah sistem reproduksi. Sistem reproduksi pada vertebrata adalah sistem
reproduksi seksual. Secara umum sistem reproduksi pada vertebrata terdiri atas
kelenjar kelamin (gonad), saluran reproduksi, dan kelenjar seks aksesori (pada
mamalia). Hewan-hewan yang melakukan fertilisasi secara internal, yang jantan
memiliki organ kopulatoris yang berfungsi untuk menyalurkan sperma dari
organisme jantan ke saluran reproduksi betina. Organ utama penyusun sistem
reproduksi adalah gonad. Pada hewan jantan, gonadnya berupa testis sedangkan pada yang betina
disebut ovarium. Gonad berfungsi sebagai penghasil sel kelamin (sel gamet).
Gamet jantan disebut spermatozoa sedang yang betina sel telur (ovum).
Buaya merupakan
sumberdaya alam hayati yang kelestariannya harus
dijaga. Untuk menjaga kelestariannya tetap berjalan secara
berkesinambungan,
maka diperlukan upaya konservasi buaya. Leopold (1933) dalam Alikodra
(1990) menekankan pentingnya penggunaan prinsip-prinsip ekologi dalam pengembangan
teknik-teknik satwa liar. Buaya muara (Crocodylus porosus) dilindungi
berdasarkan SK Mentan No. 716/Kpts/Um/10/1980. Buaya tersebut kemudian dilindungi berdasarkan P.P
No. 7 Tahun 1990.
1.2
Tujuan
Tujuan dari
praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri umum reproduksi pada buaya muara.
BAB II
METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu
Studi literatur dilakuan di
Perpustakaan Intitut Pertanian Bogor pada tanggal 15 April 2013.
3.2 Alat dan Bahan
Alat
yang digunakan antara lain laptop, buku, jurnal, skripsi, laporan, makalah, dan
lain-lain.
3.3 Metode Pengambilan Data
Metode
yang digunakan dalam praktikum ini adalah studi iteratur dari jurnal ilmiah,
skripsi, makalah, buku dan laporan ilmiah lain yang dapat digunakan sebagai
referensi.
3.4 Analisis Data
Analisis
data dilakukan secara deskriptif untuk memperoleh data tentang ciri-ciri
reproduksi buaya muara.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Perbedaan Jenis Kelamin Berdasarkan Kelas Umur
Menurut Grzimek (1975) dari segi
taksonomi buaya diklasifikasikan kedalam:
Kingdom : Animalia
Filum : Vertebrata
Kelas : Reptilia
Ordo :
Crocodilia
Famili : Crocodylidae
Genus : Crocodylus
Spesies : Crocodylus
porosus Schneider 1801
Buaya muara memiliki ekor yang panjang dan
kuat yang digunakan untuk berenang, selain itu digunakan sebagai alat
persenjataan diri dalam menyrang dan bertahan (Goin et al. 1978). Perbedaan jenis kelamin buaya jantan dan betina
menurut Dirjen PHPA (1985) dapat dilihat dari perbedaan bentuk ekor. Umumnya
buaya jantan berekor tegak, sementara buaya betina berekor rebah.
Buaya
muara memiliki warna kulit coklat kotor sampai hitam dengan bentuk kepala yang
lonjong dan bentuk moncong yang bervariasi menurut umur dan ukuran tubuh
(Masyud et al. 1993). Nuitja (1979)
menjelaskan bahwa bagian atas tubuh buaya muara dewasa berwarna gelap kuning
kehijauan dan bagian bawah tubuh berwarna kekuningan.
Menurut
Masyud et al. (1993) mengemukakan
bahwa panjang badan jantan dan betina dewasa bisa mencapai 6-10 meter dan
panjang betina dewasa dapat mencpai 4 meter. Bobot buaya muara dewasa
bervariasi, tetapi umumnya diketahui bahwa untuk bobot yang melebihi 1000 kg
menunjukkan pendugaan ukuran panjang mencapai 6 meter.
Menurut
Iskandar (2000) anakan yang menetas berukuran 310-370 mm dan memiliki warna
abu-abu kecoklatan. Menurut Suwelo (1982) buaya muara panjang total mencapai
kurang lebih 10 m.
3.2
Sex Ratio
Menurut
Dirjen PHPA (1987) sex ratio buaya jantan dan buaya betina dipenangkaran adalah
1 : 3.
3.3
Minimum Breeding
Buaya
muara diketahui mencapai kedewasaan pada ukuran panjang 3-3,6 meter. Panjang
minimum buaya muara pada saat memijah adalah 2,2 meter untuk buaya betina dan 3
meter untuk buaya jantan atau umur minimum 10 tahun untuk buaya betina dan umur
15 tahun untuk buaya jantan (Dirjen PHPA 1985). Grzimek (1975) mengemukakan
bahwa buaya muara jantan dewasa mencapai dewasa kelamin pada ukuran panjang
tubuh 2,9-3,3 meter dengan berat badan 80-160 kg, sedangkan buaya betina mencapai
dewasa pada ukuran panjang minimum 2,4-2,8 meter mencapai dewasa diperkirakan
8-12 tahun.
3.4
Maximum Breeding
Masyud et al. (1993) menjelaskan bahwa di
alam, buaya muara mulai berkembangbiak apabila telah mencapai umur 10 tahun
pada betina dan mencapai umur 15 tahun pada buaya jantan. Masa hidup buaya
muara dapat mencapai 60-80 tahun dengan potensial reproduksi dari umur 25-30
tahun.
3.5
Musim Kawin
Buaya
muara bereproduksi pada musim hujan, yang berlangsung antara bulan November
hingga bulan Maret.umumnya buaya muara ditemukan memijah diperairan air tawar,
dimana jantan akan menetapkan serta mempertahankan wilayahnya apabila ada
jantan lain yang berusaha masuk ke daerah tersebut.
3.6
Lama Bunting
Lama
pengeraman telur berkisar antara 78-114hari dengan rata-rata pengeraman selama
98 hari. Berat telur buaya muara yang dihasilkan berkisar antara 69-118 gram
dengan berat rata-rata telur sebesar 93 gram. Sedangkan panjang anakan buaya
setelah menetas berkisar antara 20-30 cm (Masyud et al. 1993). Menurut Iskandar (2000) buaya betina bertelur pada
awal musim hujan. Sekali bertelur dihasilkan rata-rata 22 butir telur dengan
berat rata-rata 104 gram, anakan yang menetas berukuran 310-370 mm dan memiliki
warna abu-abu kecoklatan.
Buaya memperbanyak keturunannya dengan cara bertelur.
Kopulasi dilakukan di dalam air yang didahului perkelahian antara buaya betina
dengan jantan dan hanya berlangsung beberapa menit pada siang hari (Dinas
kehutanan 1986 dalam Ratnani 2007). Tanda-tanda masa birahi dan terjadinya
perkawinan buaya jantan selalu membenturkan kepala ke tubuh buaya jantan.
Perkawinan terjadi di dalam kolam dan sulit dideteksi, pada umumnya terjadi
antara bulan Februari – Oktober (Tim PT Yasanda 1992 dalam Ratnani 2007).
3.7
Kemampuan Reproduksi
Buaya
muara berkembangbiak dengan cara bertelur dan jumlah telur yang dihasilkan
setiap musim sebanyak 10-75 butir dengan rata-rata telur yang dihasilkan
sebanyak 44 butir. Telur buaya ini memiliki gigi telur di ujung moncongnya, dan
juga memiliki kulit yang keras dua bulan setelah menetas, Telur dari Buaya ini
sangat mirip dengan telur burung, dimana mereka mempunyai membran luar dan
membran dalam, Gigi Telur digunakan untuk merobek membran dalam. kemudian bayi
buaya tersebut bisa mendorongnya dan akhirnya keluar dari dalam telur.
3.8 Perilaku Reproduksi
Sebelum bertelur,
buaya betina mempersiapkan tempat untuk bertelur yang letaknya tidak jauh dari
tepi-tepi sungai dengan mengumpulkan ranting-ranting dan daun yang telah busuk.
Setelah telur diletakkan di dalam sarang yang dibuatnya, buaya tersebut
menimbun sarang dengan ranting daun busuk yang bercampur dengan lumpur
(Direktorat Jendral PHPA 1987). Tipe sarang telur buaya muara adalah tipe
mound, dengan diameter, tinggi, dan suhu sarang berukuran masing-masing 1,2-2,2
m, 0,4-0,76 m, dan 30°-37,° C (Dirjen PHPA 1985).
Setelah itu buaya betina menjaga
sarangnya hingga telur-telurnya menetas selama tiga bulan, kemudian membawa
anak-anaknya ke dalam sungai (Departemen Kehutanan Irian Jaya 1986).
KESIMPULAN
Buaya
muara mulai berkembangbiak apabila telah mencapai umur 10 tahun pada betina dan
mencapai umur 15 tahun dan memiliki musim kawin antara bulan November hingga
bulan Maret. Lama pengeraman telur berkisar antara 78-114hari dengan rata-rata
pengeraman selama 98 hari dengan jumlah telur yang dihasilkan setiap musim
sebanyak 10-75 butir dengan rata-rata telur yang dihasilkan sebanyak 44 butir.
Sebelum bertelur, buaya betina mempersiapkan tempat untuk bertelur yang
letaknya tidak jauh dari tepi-tepi sungai dengan mengumpulkan ranting-ranting
dan daun yang telah busuk. Setelah telur diletakkan di dalam sarang yang
dibuatnya, buaya tersebut menimbun sarang dengan ranting daun busuk yang
bercampur dengan lumpur
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra
SH. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid I.
Bogor : Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor.
Departemen Kehutanan
Irian Jaya. 1986. Studi Kelayakan
Industri Kulit buaya di Irian Jaya . Kantor Wilayah Kehutanan Irian Jaya
dan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Direktorat Jendral PHPA.
1985. Proseding Diskusi : Penangkaran
Buaya sebagai Salah Satu Bentuk Pemanfaatan untuk Menunjang Perekonomian. BKSDA
III. Direktorat Jendral PHPA. Departemen Kehutanan Bogor.
Direktorat
Jendral PHPA. 1987. Pedoman Pelaksanaan
Usaha penangkaran Buaya. Bogor : Direktorat PHPA dan PT Hexa Buana Concrve.
Goin CG, Goin OB,
and Zug GR. 1978. Introduction to
Herpetology. W.F Freeman and Company. San Fransisco.
Grzimek
B. 1975. Animal Life Encyclopedia. Van
Nostrand Company. London.
Iskandar DT. 2000.
Kura-Kura dan Buaya Indonesia dan Papua
Nugini dengan Catatan Mengenai Jenis-Jenis di Asia Tenggara. Bandung:
PALMedia Citra.
Kantor
Wilayah Departemen Kehutanan. 1986. Studi
Kelayakan industri Kulit Buaya di Irian Jaya. Kantor Wilayah kehutanan
dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Nuitja
JC. 1978. Natural History Binatang Buaya.
Bogor : Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Intitut Pertanian Bogor.
Ratnani B. 2007.
Analisis Manajemen Penangkaran Buaya pada PT Ekanindya Karsa di Cikande,
Kabupaten Banten [Skripsi]. Bogor : Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata. Institut Pertanian Bogor.
Suwelo IS. 1982. Deskripsi Reptilia. Direktorat Jendral
Kehutanan Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Bogor.
(Masyud
et al. 1993)
0 comments:
Post a Comment