Tuesday, September 22, 2015

CIRI UMUM REPRODUKSI PADA BUAYA MUARA (Crocodylus porosus Schneider 1801)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Indonesia saat ini menganut azas pemanfaatan jenis secara berkelanjutan (sustainable utilization). Pemanfaatan secara berkelanjutan ini dilaksanakan dalam arti pemanfaatan dapat dilakukan dalam bentuk pemanenan dari alam berdasarkan kuota dan pemanfaatan dari jasa yang ditimbulkan oleh species tersebut. Pemanfaatan dalam bentuk perdagangan, secara internasional diatur melalui konvensi yang dikenal dengan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Untuk  melaksanakan ini Indonesia menerapkan prinsip-prinsip pemanfaatan berkelanjutan yang berdasar pada (1) prinsip pemanfaatan tidak merusak (non detriment findings) dan (2) prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Prinsip-prinsip tersebut selalu mendasari pengembangan kebijakan pengelolaan pemanfaatan jenis yang berkelanjutan. Salah satu dasar ilmiah pelaksanaan prinsip non detriment findings dan prinsip kehati - hatian (precautionary) adalah pemanenan berdasar teori Maximum Sustainable Yield (MSY). Indikator MSY dikembangkan berdasarkan konsep ekologi yang dikenal dengan Daya Dukung (carrying capacity) (Direktorat KKH  2006).
Penangkaran satwa liar merupakan salah satu usaha yang ditujukan untuk melestarikan populasi suatu jenis satwa liar tanpa mengubah sifat-sifat alami dari satwa yang ditangkarkan dan atau untuk tujuan perdagangan. Salah satu tujuan penangkaran satwa liar adalah untuk mendapatkan spesimen dalam jumlah, mutu, kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik yang terjamin, untuk kepentingan pemanfaatan sehingga mengurangi tekanan langsung terhadap populasi di alam.
Untuk mempertahankan jenisnya maka, suatu organisme Akan melakukan perkembangbiakan. Sistem yang berperan dalam perkembangbiakan hewan adalah sistem reproduksi. Sistem reproduksi pada vertebrata adalah sistem reproduksi seksual. Secara umum sistem reproduksi pada vertebrata terdiri atas kelenjar kelamin (gonad), saluran reproduksi, dan kelenjar seks aksesori (pada mamalia). Hewan-hewan yang melakukan fertilisasi secara internal, yang jantan memiliki organ kopulatoris yang berfungsi untuk menyalurkan sperma dari organisme jantan ke saluran reproduksi betina. Organ utama penyusun sistem reproduksi adalah gonad. Pada hewan jantan, gonadnya  berupa testis sedangkan pada yang betina disebut ovarium. Gonad berfungsi sebagai penghasil sel kelamin (sel gamet). Gamet jantan disebut spermatozoa sedang yang betina sel telur (ovum).
            Buaya merupakan sumberdaya alam hayati yang kelestariannya harus
dijaga. Untuk menjaga kelestariannya tetap berjalan secara berkesinambungan,
maka diperlukan upaya konservasi buaya. Leopold (1933) dalam Alikodra (1990) menekankan pentingnya penggunaan prinsip-prinsip ekologi dalam pengembangan teknik-teknik satwa liar. Buaya muara (Crocodylus porosus) dilindungi berdasarkan SK Mentan No. 716/Kpts/Um/10/1980. Buaya  tersebut kemudian dilindungi berdasarkan P.P No. 7 Tahun 1990.

1.2  Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri umum reproduksi pada buaya muara.




BAB II
METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu
            Studi literatur dilakuan di Perpustakaan Intitut Pertanian Bogor pada tanggal 15 April 2013.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan antara lain laptop, buku, jurnal, skripsi, laporan, makalah, dan lain-lain.

3.3 Metode Pengambilan Data
Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah studi iteratur dari jurnal ilmiah, skripsi, makalah, buku dan laporan ilmiah lain yang dapat digunakan sebagai referensi.

3.4 Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk memperoleh data tentang ciri-ciri reproduksi buaya muara.











BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Perbedaan Jenis Kelamin Berdasarkan Kelas Umur
         Menurut Grzimek (1975) dari segi taksonomi buaya diklasifikasikan kedalam:
Kingdom               : Animalia
Filum                     : Vertebrata
Kelas                     : Reptilia
Ordo                      : Crocodilia
Famili                    : Crocodylidae
Genus                    : Crocodylus
Spesies                  : Crocodylus porosus Schneider 1801

      Buaya muara memiliki ekor yang panjang dan kuat yang digunakan untuk berenang, selain itu digunakan sebagai alat persenjataan diri dalam menyrang dan bertahan (Goin et al. 1978). Perbedaan jenis kelamin buaya jantan dan betina menurut Dirjen PHPA (1985) dapat dilihat dari perbedaan bentuk ekor. Umumnya buaya jantan berekor tegak, sementara buaya betina berekor rebah.
Buaya muara memiliki warna kulit coklat kotor sampai hitam dengan bentuk kepala yang lonjong dan bentuk moncong yang bervariasi menurut umur dan ukuran tubuh (Masyud et al. 1993). Nuitja (1979) menjelaskan bahwa bagian atas tubuh buaya muara dewasa berwarna gelap kuning kehijauan dan bagian bawah tubuh berwarna kekuningan.
Menurut Masyud et al. (1993) mengemukakan bahwa panjang badan jantan dan betina dewasa bisa mencapai 6-10 meter dan panjang betina dewasa dapat mencpai 4 meter. Bobot buaya muara dewasa bervariasi, tetapi umumnya diketahui bahwa untuk bobot yang melebihi 1000 kg menunjukkan pendugaan ukuran panjang mencapai 6 meter.
Menurut Iskandar (2000) anakan yang menetas berukuran 310-370 mm dan memiliki warna abu-abu kecoklatan. Menurut Suwelo (1982) buaya muara panjang total mencapai kurang lebih 10 m.

3.2 Sex Ratio
            Menurut Dirjen PHPA (1987) sex ratio buaya jantan dan buaya betina dipenangkaran adalah 1 : 3.           

3.3 Minimum Breeding
            Buaya muara diketahui mencapai kedewasaan pada ukuran panjang 3-3,6 meter. Panjang minimum buaya muara pada saat memijah adalah 2,2 meter untuk buaya betina dan 3 meter untuk buaya jantan atau umur minimum 10 tahun untuk buaya betina dan umur 15 tahun untuk buaya jantan (Dirjen PHPA 1985). Grzimek (1975) mengemukakan bahwa buaya muara jantan dewasa mencapai dewasa kelamin pada ukuran panjang tubuh 2,9-3,3 meter dengan berat badan 80-160 kg, sedangkan buaya betina mencapai dewasa pada ukuran panjang minimum 2,4-2,8 meter mencapai dewasa diperkirakan 8-12 tahun.

3.4 Maximum Breeding
            Masyud et al. (1993) menjelaskan bahwa di alam, buaya muara mulai berkembangbiak apabila telah mencapai umur 10 tahun pada betina dan mencapai umur 15 tahun pada buaya jantan. Masa hidup buaya muara dapat mencapai 60-80 tahun dengan potensial reproduksi dari umur 25-30 tahun.

3.5 Musim Kawin
Buaya muara bereproduksi pada musim hujan, yang berlangsung antara bulan November hingga bulan Maret.umumnya buaya muara ditemukan memijah diperairan air tawar, dimana jantan akan menetapkan serta mempertahankan wilayahnya apabila ada jantan lain yang berusaha masuk ke daerah tersebut.



3.6 Lama Bunting
            Lama pengeraman telur berkisar antara 78-114hari dengan rata-rata pengeraman selama 98 hari. Berat telur buaya muara yang dihasilkan berkisar antara 69-118 gram dengan berat rata-rata telur sebesar 93 gram. Sedangkan panjang anakan buaya setelah menetas berkisar antara 20-30 cm (Masyud et al. 1993). Menurut Iskandar (2000) buaya betina bertelur pada awal musim hujan. Sekali bertelur dihasilkan rata-rata 22 butir telur dengan berat rata-rata 104 gram, anakan yang menetas berukuran 310-370 mm dan memiliki warna abu-abu kecoklatan.
            Buaya memperbanyak keturunannya dengan cara bertelur. Kopulasi dilakukan di dalam air yang didahului perkelahian antara buaya betina dengan jantan dan hanya berlangsung beberapa menit pada siang hari (Dinas kehutanan 1986 dalam Ratnani 2007). Tanda-tanda masa birahi dan terjadinya perkawinan buaya jantan selalu membenturkan kepala ke tubuh buaya jantan. Perkawinan terjadi di dalam kolam dan sulit dideteksi, pada umumnya terjadi antara bulan Februari – Oktober (Tim PT Yasanda 1992 dalam Ratnani 2007).

3.7 Kemampuan Reproduksi
Buaya muara berkembangbiak dengan cara bertelur dan jumlah telur yang dihasilkan setiap musim sebanyak 10-75 butir dengan rata-rata telur yang dihasilkan sebanyak 44 butir. Telur buaya ini memiliki gigi telur di ujung moncongnya, dan juga memiliki kulit yang keras dua bulan setelah menetas, Telur dari Buaya ini sangat mirip dengan telur burung, dimana mereka mempunyai membran luar dan membran dalam, Gigi Telur digunakan untuk merobek membran dalam. kemudian bayi buaya tersebut bisa mendorongnya dan akhirnya keluar dari dalam telur.

3.8 Perilaku Reproduksi
Sebelum bertelur, buaya betina mempersiapkan tempat untuk bertelur yang letaknya tidak jauh dari tepi-tepi sungai dengan mengumpulkan ranting-ranting dan daun yang telah busuk. Setelah telur diletakkan di dalam sarang yang dibuatnya, buaya tersebut menimbun sarang dengan ranting daun busuk yang bercampur dengan lumpur (Direktorat Jendral PHPA 1987). Tipe sarang telur buaya muara adalah tipe mound, dengan diameter, tinggi, dan suhu sarang berukuran masing-masing 1,2-2,2 m, 0,4-0,76 m, dan 30°-37,° C (Dirjen PHPA 1985).
            Setelah itu buaya betina menjaga sarangnya hingga telur-telurnya menetas selama tiga bulan, kemudian membawa anak-anaknya ke dalam sungai (Departemen Kehutanan Irian Jaya 1986).

KESIMPULAN
Buaya muara mulai berkembangbiak apabila telah mencapai umur 10 tahun pada betina dan mencapai umur 15 tahun dan memiliki musim kawin antara bulan November hingga bulan Maret. Lama pengeraman telur berkisar antara 78-114hari dengan rata-rata pengeraman selama 98 hari dengan jumlah telur yang dihasilkan setiap musim sebanyak 10-75 butir dengan rata-rata telur yang dihasilkan sebanyak 44 butir. Sebelum bertelur, buaya betina mempersiapkan tempat untuk bertelur yang letaknya tidak jauh dari tepi-tepi sungai dengan mengumpulkan ranting-ranting dan daun yang telah busuk. Setelah telur diletakkan di dalam sarang yang dibuatnya, buaya tersebut menimbun sarang dengan ranting daun busuk yang bercampur dengan lumpur






























DAFTAR PUSTAKA


Alikodra SH. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor : Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor.
Departemen Kehutanan Irian Jaya. 1986. Studi Kelayakan Industri Kulit buaya di Irian Jaya . Kantor Wilayah Kehutanan Irian Jaya dan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Direktorat Jendral PHPA. 1985. Proseding Diskusi : Penangkaran Buaya sebagai Salah Satu Bentuk Pemanfaatan untuk Menunjang Perekonomian. BKSDA III. Direktorat Jendral PHPA. Departemen Kehutanan Bogor.
Direktorat Jendral PHPA. 1987. Pedoman Pelaksanaan Usaha penangkaran Buaya. Bogor : Direktorat PHPA dan PT Hexa Buana Concrve.
Goin CG, Goin OB, and Zug GR. 1978. Introduction to Herpetology. W.F Freeman and Company. San Fransisco.
Grzimek B. 1975. Animal Life Encyclopedia. Van Nostrand Company. London.
Iskandar DT. 2000. Kura-Kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini dengan Catatan Mengenai Jenis-Jenis di Asia Tenggara. Bandung: PALMedia Citra.
Kantor Wilayah Departemen Kehutanan. 1986. Studi Kelayakan industri Kulit Buaya di Irian Jaya. Kantor Wilayah kehutanan dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Nuitja JC. 1978. Natural History Binatang Buaya. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.  Intitut Pertanian Bogor.
Ratnani B. 2007. Analisis Manajemen Penangkaran Buaya pada PT Ekanindya Karsa di Cikande, Kabupaten Banten [Skripsi]. Bogor : Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Institut Pertanian Bogor. 
Suwelo IS. 1982. Deskripsi Reptilia. Direktorat Jendral Kehutanan Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Bogor.

 (Masyud et al. 1993)

0 comments:

Post a Comment