BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Banteng
merupakan salah satu jenis satwa liar herbivor yag bersifat pemakan rumput
(grazer) daripada pemakan semak (browser). Satwa ini tergolong kedalam kategori
satwa langka dan dilindungi. Di Indonesia banteng haya dapat ditemukan di Pulau
Jawa, Kalimantan dan sedikit di Bali Barat. Penurunan populasi banteng ini
disebabkan oleh rusaknya habitat alaminya dan terjadi pemburuan liar. Oleh
karena itu perlu adanya upaya pelestarian dengan cara manajemen pengelolaan
satwa tersebut tanpa mengabaikan aspek ekonomis, finansial serta manfaat fisik
wilayahnya.
Manjemen
pengelolaan satwa liar dalam kawasan konservasi tidak terlepas dari pengelolaan
habitat alami satwa tersebut. Dalam pengelolaan habitat, makanan menjadi faktor
pembatas bagi perkembangbiakan satwa tersebut. Hal ini disebabkan karena jumlah
makanan yang terdapat di habitat insitu sangat terbatas dan
ketersediaannya dipengaruhi oleh banyak faktor.
Banteng
merupakan satwa herbivor, sehingga membutuhkan adanya padang penggembalaan yang
dijadikan sebgai sumber pakan dan pusat aktivitas. Keberadaaan padang
penggembalaan ini sangat menentukan kelestarian populasi banteng. Kualitas padang penggembalaan harus dapat
dipertahankan agar populasi satwa yang ada dapat hidup secara normal dan terus
menerus. Untuk itu perlu diketahui daya dukung suatu padang penggembalaan
terutama dari segi kuantitas maupun kualitas hijauan makanan satwa.
1.2
Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah
·
Mengetahui pakan banteng
yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon.
·
Mengetahui pola perilaku
makan banteng di Taman Nasional Ujung Kulon.
·
Mengetahui teknik
pengelolaan pakan banteng yang dilakukan di Taman Nasional Ujung Kulon.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Taksonomi
Nama daerah lain untuk banteng adalah sapi alas (jawa),
klebo, dan temadu (Kalimantan). Menurut Alikodra
(1983), secara taksonomi banteng diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Pylum
: Chordata
Class
: Mammalia
Subkelas : Theria
Ordo
: Artidactyla
Subordo : Ruminantia
Family
: Bovidae
Genus
: Bos
Spesies
: Bos javanicus d’ Alton 1823
2.2
Morfologi
Banteng merupakan tubuh yang tegap, besar dan kuat dengan
bahu bagian depannya lebih tinggi daripada bagian belakang tubuhnya. Di kepalanya
terdapat sepasang tanduk, pada banteng jantan berwarna hitam mengkilap, runcing
dan melengkung simetris kedalam, sedangkan pada banteng betina bentuk tanduknya
lebih kecil (Lekagul dan Mc. Neely 1977). Pada bagian dada terdapat gelambir (dewlap)
yang dimulai dari pangkal kaki depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai
daerah kerongkongan (Alikodra 1983).
Jenis kelamin pada banteng dapat dibedakan dari warna kulitnya. Banteng betina
mamiliki warna coklat kemerahan, semakin tua umurnya semakin gelap menjadi
coklat tua. Sedangkan banteng jantan memiliki warna kulit hitam, semakin tua
maka warna kulitnya semakin tua. Warna banteng sangat bervariasi sesuai dengan
lokasi habitatnya.
Menurut Preffer dan Sinaga (1964)
dalam Santosa (1985) berat banteng dewasa di Taman Nasional Ujung Kulon dapat
mencapai 900 Kg dan tinggi bahunya kurang lebih 170 cm. Banteng jantan
mempunyai ukuran tengkorak 50 cm, sedangkan betina dewasa lebih kecil dari
ukuran tengkorak banteng jantan. Tinggi bervariasi menurut umur. Banteng jantan
yang berumur 8-10 tahun mempunyai tinggi bahu 170 cm, sedangkan banteng betina
mempunyai tinggi bahu 150 cm.
Banteng mempunyai ciri khas yaitu pada bagian pantat
terdapat belanga putih, bagian kaki dari mulut ke bawah seolah-olah memakai
kaos kaki berwarna putih, serta pada bagian atas dan bawah bibir berwarna
putih. Banteng jantan mempunyai warna bulu hitam. Semakin tua umurnya maka
semakin hitam bulunya. Pada banteng betina warna bulunya coklat kemerahan,
semakin tua umurnya semakin gelap menjadi coklat tua. Warna kulit anak banteng
baik betina maupun jantan lebih terang dari warna bulu banteng betina dewasa,
tetapi pada banteng jantan muda (anak) warna kulitnya lebih gelap sejak berumur
12-18 bulan (Alikodra 1983).
2.3 Perilaku
Banteng merupakan satwa yang hidup
berkelompok, biasanya terdiri dari satu ekor banteg jantan dewasa, ertindak
sebagai ketua kelompok, jantan muda, betina induk, dan anak-anaknya. Banteng
terkenal sebagai satwa yang mempunyai penciuman dan pendengaran yang tajam. Di
waktu makan banteng sering mengangkat kepala
sambil mengibas-ngibaskan telinganya untuk mendengar apakah ada bahaya,
kemudian makan lagi jika dirasa tidak ada tanda-tanda bahaya yang akan
mengganggu. Apabila ada tanda bahaya, banteng yang pertama kali mendengar akan
segera menghadap ke arah sumber bahaya sambil memberi isyarat kepada banteng
yang lainnya. Bila ada bahaya yang mengancam, banteng-banteng muda dan betina
terlebih dahulu masuk ke hutan kemudian disusul oleh banteng dewasa jantan ( Hoorgerwerf
1970).
Dalam tiap-tiap kelompok biasanya
terdapat beberapa banteng jantan muda (2-5 ekor) yang mana pada saatnya nanti,
salah satunya akan menggantikan sebagai ketua kelompok. Waktu pergantian ketua
kelompok, sering terjadi perkelahian, dan banteng yang kalah akan memisahkan
diri dari kelompoknya dan kadang-kadang diikuti oleh beberapa betina yang setia
kemudian membentuk kelompok baru (Alikodra 1983).
Menurut Alikodra (1983), bahwa
banteg mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
·
Menyukai daerah yang luas dan tidak ada gangguan alami
·
Daerah yang banyak terdapat garam; daerah yang tidak ada
gangguan lalat, lebah dan lainnya.
·
Daerah moonson forest,
savana, dan blang.
·
Suka hidup berkelompok.
·
Suka melakukan perjalanan jauh sambil makan dan kurang tahan
terhadap terik matahari sehingga banteng sering berlindung di bawah pohon
rindang didekat padang rumput/savana.
2.4 Karekteristik Habitat dan Pakan
Habitat
merupakan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya
baik makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung,
berkembangbiak, maupun tempat unutk mengasuh anak-anaknya (Alikodra
2002). Satwa liar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang
diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Menurut Alikodra (1983) dalam
Nugraha (2007) komponen lingkungan hidup banteng yang ideal terdiri dari hutan
alam primer, semak-semak, padang penggembalaan, sumber air, hutan pantai, hutan
payau dan laut.
Pakan merupakan salah satu komponen penting yang sangat dibutuhkan satwa liar
untuk dapat tumbuh dan berkembangbiak. Tumbuhan pakan yang berpotensi menjadi
pakan satwa liar adalah tumbuhan yang dapat dijangkau dan dimanfaatkan oleh
satwa liat tersebut. Menurut Alikodra (1983), potensi makanan (penyebaran dan
nilai gizinya) di alam sangat berkaitan erat dengan kondisi musim. Banteng
memiliki musim melahirkan saat menjelang musim penghujan. Hal ini disebabkan
karena saat musim penghujan ketersediaan pakan melimpah sehingga mempengaruhi
kondisi pertumbuhan dan kesehatan banteng.
Pakan (feed)
digunakan dalam dunia satwa yang merupakan
bahan – bahan organik dan organik yang dapat diubah menjadi sumber nutrisi
sebagai pemenuhan kebutuhan satwa agar dapat bertahan hidup dan menghasilkan
keturunan. Dalam pengelolaan pakan harus terdapat
zat pakan (zat makanan) yaitu bagian dari bahan pakan yang dapat dicerna, dapat
diserap, dan bermanfaat bagi tubuh (ada 6 macam zat pakan, yaitu air, mineral,
karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin). Selain itu dalam pakan terdapat
istilah ransum yaitu campuran 2 atau lebih bahan pakan yang disusun untuk
memenuhi kebutuhan satwa
selama 24 jam (
Alikodra 1983)
Alikodra
(1983) menambahkan bahwa makanan mempunyai fungsi penting sebagai sumber energi
untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup satwa, seperti menggantikan bagian tubuhyang
rusak, memelihara fungsi-fungsi dasar tubuh, perkembangbiakan, pertumbuhan
satwa muda, mempertinggi dayatahantubuh terhadap penyakit, dan lain-lain. Secara
umum, keadaan pakan satwa di suatu habitat tidak selalu tersedia dengan cukup,
sempurna serta merata, melainkan seringkali mengalami kekurangan, gangguan,
kerusakan atau penurunan.
BAB
III
METODE
PENGAMBILAN DATA
3.2
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan
antara lain alat tulis, buku, jurnal, skripsi, laporan, makalah, dan lain-lain.
3.3
Metode Pengambilan Data
Metode yang digunakan
dalam praktikum ini adalah studi iteratur dari jurnal ilmiah, skripsi, makalah,
buku dan laporan ilmiah lain yang dapat digunakan sebagai referensi.
3.4
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara
deskriptif untuk memperoleh data tentang keanekaragaman jenis pakan
banteng, palatabilitas pada banteng dan pengelolaan pakan yang dilakukan di kawasan konservasi Taman Nasional Ujung Kulon.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman jenis
pakan menjadi salah satu faktor penting sebagai pendukung adanya ketersediaan
pakan. Pada umumnya banteng merupakan satwaliar yang cenderung lebih menyukai
memakan rumput dibandingkan dengan memakan pucuk daun. Akan tetapi hal ini
tidak dapat dijadikan faktor penentu, karena hal tersebut tergantung pada
kondisi habitat yang ada disuatu wilayah. Hal ini dapat dijelaskan karena
banteng merupakan satwa yang dapat menyesuaikan diri dengan habitatnya dengan
baik.
Padang penggembalaan
sangat penting peranannnya bagi perkembangbiakan banteng. Di Taman Nasional Ujung
kulon terdapat padang penggembalaan/savana yang cukup luas. Hal ini dikarenakan
banteng mempunyai ketergantungan yang cukup tinggi kepada kelestarian savana,
yaitu sebagai lokas feedimg (grazing), aktivitas
sosial, dan bermain.
Di Taman Nasional Ujung Kulon
(TNUK), terdapat padang penggembalaan Cidaon yang memiliki luas sekitar 6 ha.
Padang penggembalaan tersebut terdiri dari dari dua vegetasi yaitu vegetasi
rumput dan vegetasi semak atau herba (bukan rumput). Berdasarkan hasil analisis
vegetasi di padang penggembalaan Cidaon terdapat 9 jenis rumput yaitu rumput
teki, rumput jarum, rumput kawat, tapak liman, ki jampang, jampang pait, rumput
kiseuseut, ki bareula, kukucayan dan 6 jenis bukan rumput (semak dan herba)
yaitu antanan, amis mata, domdoman, jejerukan, meniran, jarong. Jenis vegetasi
yang mendominasi diantaranya yaitu antanan (Centella
asiatica), domdoman (Chrysopogon
aciculatus) dan rumput teki (Cyperus
brevifolia). Jenis-jenis rumuput yang trdapat di padang penggembalaan
Cidaon umumnya merupakan sumber pakan banteng. Hal ini disebabakan karena
banteng merupakan satwa liar yang tidak selektif dalam memilih makanan (Destriana 2008).
Hutan dataran rendah yang terdapat
di TNUK memiliki keanekagaraman jenis yang tinggi. Pada tingkat semai dan tumbuhan
bawah ditemukan 22 jenis dengan jenis-jenis yang mendominasi diantaranya yaitu
salam (Eugenis polyantha) dan tepus (Ammomum coccineum). Pada tingkat pancang
ditemukan 16 jenis dengan jenis-jenis mendominasi diantaranya yaitu peuris (Aporosa aurita) dan ki genteul
(Diospyros javanica). Pada tingkat tiang ditemukan sebanyak 9 jenis dengan
jenis-jenis yang mendominasi diantaranya yaitu salam dan lampeni. Sedangkan
pada tingkat pohon ditemukan 14 jenis dengan jenis-jenis yang mendominasi
diantaranya yaitu lampeni dan salam. Berbagai jenis tumbuhan bawah yang
terdapat di hutan dataran rendah dijadikan sebagai sumber pakan bagi banteng di
hutan (Destriana 2008).
Tipe hutan pantai di Taman Nasional
Ujung Kulon (TNUK) juga dimanfaatkan
banteng untuk memperoleh makanan, beristirahat, dan juga tempat berlindung pada
saat sebelum maupun setelah melakukan kegiatan mengasin di pantai. Berdasarkan
hasil analisis vegetasi hutan pantai Cidaon memiliki keanekaragaman tinggi. Di
lokasi tersebut ditemukan 12 jenis tumbuhan. Untuk tingkat semai dan tumbuhan
bawah ditemukan 10 jenis dengan jenis yang mendominasi yaitu ketapang (Terminalia catappa) dan Lampeni. Pada
tingkat pancang ditemukan 7 jenis dengan jenis yang mendominai yaitu waru laut
(Thespesia populnea) dan lampeni.
Pada tingkat tiang ditemukan 8 jenis dengan jenis yang mendominasi yaitu
malapari dan lempeni. Dan pada tingkat pohon ditemukan 7 jenis denag jenis yang
mendominasi yaitu lampeni dan nyamplung (Calophyllum
inophyllum) (Delfiandi 2006).
Pengelolaan pakan pada habitat insitu tidak dikelola secara periodik karena
banyaknya faktor-faktor yang
mempengaruhi ketersediaan pakan. Pola penggunaan ruang dan perilaku sosial betina sangat
dipengaruhi oleh keterbatasan dan distribusi makanan dan cover. Pergerakan atau perpindahan banteng cenderung dipengeruhi
oleh ketersediaan makanan.
Faktor-faktor primer yang mendorong satwa untuk bergerak agar kebutuhan
fisiologisnya terpenuhi seperti rasa lapar, haus dan motivasi seksual
menjadikan faktor-faktor tersebut penentu utama dari penggunaan suatu tempat
atau habitat.
Cover atau pelindung merupakan komponen habitat berikutnya yang
mempengaruhi pemilihan habitat oleh banteng yang nantinya berpengaruh terhadapa
ketersediaan pakan. Banteng merupakan salah satu jenis satwaliar yang tidak
terlalu menyukai cuaca dengan panas matahari yang terik dan umumnya mencari
perlindungan dibawah tegakan hutan untuk beristirahat. Oleh karena itu
pengelolaan terhadap habitat agar tidak terjadi pembalakan secara liar menjadikan
keberadaan habitat tetap dalam kondisi baik dan mampu memberikan rasa aman
terhadap satwaliar yang ada di kawasan tersebut.
Selain ketersediaan pakan yang cukup, banteng juga memerlukan minum dan
daerah mengasin. Dapat juga diberikan sumber air buatan untuk menyediakan air
untuk banteng saat musim kemarau. Sedangkan vegetasi hutan pantai dimanfaatkan
banteng untuk mengasin, mengasin berfungsi pembantu dalam proses pencernaan.
Oleh karena itu harus ada pembatasan pengunjung dalam daerah pantai yang biasa
digunakan untuk wisata, agar banteng dapat leluasa pergi kepantai untuk
mengasin.
Pengelolaan pakan yang dilakukan oleh pengelola biasanya berupa padang
penggembalaan yang merupakan feeding
ground buatan yang biasanya sengaja dibuka agar pengelola lebih mudah
melakukan monitoring dan pembinaan satwaliar. Dengan adanya padang
penggembalaan dapat membantu banteng lebih mudah dalam memperoleh pakan serta cover untuk kelangsungan hidup banteng.
BAB
V
KESIMPULAN
Banteng
merupakan satwaliar yang diurnal atau aktif sepanjang siang. Banteng
menghabiskan hidupnya untuk merumput dan memamah biak secara bergantian dan
mulai merumput pada cuaca cerah. Oleh karena itu ketersediaan pakan yang
mencukupi menjadi faktor yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup banteng
karena kebutuhan pakan yang sangat banyak. Tumbuhan yang menjadi pakan banteng
antara lain kawatan, brambangan, teki, bambu,wedhusan,kawatan, sidagori, paku,
lamuran dan lain sebagainya. Akan tetapi, jenis pakan yang dominan menjadi
sumber pakan banteng adalah pada vegetasi hutan dataran rendah. Hal ini
dipengaruhi oleh faktor-faktor penentu yang disebut palatabilitas,
palatabilitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu hewan itu sendiri, fase
pertumbuhan, kondisi hijauan, kesempatan memilih makanan yang lain, tata cara
pemupukan hijauan. Oleh karena itu hal yang dapat kita perhatikan adalah
kondisi hijauan serta kandungan yang dimiliki hijauan dan kebutuhan pakan
banteng.
DAFTAR
PUSTAKA
Alikodra HS dan Djokowoerjo
Sastradipradja. 1983. Studi Tentang Beberapa Parameter Faal Pelestarian Satwa
Banteng (Bos javanicus). Bogor:
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Alikodra HS. 1983. Ekologi Banteng (Bos javanicus d’Alton) di Taman Nasional
Ujung Kulon [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan
Satwaliar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB.
Delfiandi.
2006. Analisis Pola Penggunaan Ruang dan Wilayah Jelajah (Bos javanicus d’Alton 1832) di Taman Nasional Alas Purwo Jawa
Timur. Bogor : Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Destriana HA. 2008. Aplikasi Sistem Informasi
Geografis Untuk pemetaan Kesesuaian Habitat Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) Di Taman Nasional Ujung Kulon. Bogor :
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.
Hoogerwerf A. 1970. Udjung Kulon:
the Land of the Last Javan Rhinoceros. Leiden: EJ. Brill.
Nugraha H. 2007. Analisis Pola Penggunaan Ruang
Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832)
Di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pangandaran, Jawa Barat. Bogor : Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
0 comments:
Post a Comment