Tuesday, September 22, 2015

PENGELOLAAN PAKAN BANTENG (Bos Javanicus d’ Alton 1823) DI HABITAT INSITU TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Banteng merupakan salah satu jenis satwa liar herbivor yag bersifat pemakan rumput (grazer) daripada pemakan semak (browser). Satwa ini tergolong kedalam kategori satwa langka dan dilindungi. Di Indonesia banteng haya dapat ditemukan di Pulau Jawa, Kalimantan dan sedikit di Bali Barat. Penurunan populasi banteng ini disebabkan oleh rusaknya habitat alaminya dan terjadi pemburuan liar. Oleh karena itu perlu adanya upaya pelestarian dengan cara manajemen pengelolaan satwa tersebut tanpa mengabaikan aspek ekonomis, finansial serta manfaat fisik wilayahnya.
Manjemen pengelolaan satwa liar dalam kawasan konservasi tidak terlepas dari pengelolaan habitat alami satwa tersebut. Dalam pengelolaan habitat, makanan menjadi faktor pembatas bagi perkembangbiakan satwa tersebut. Hal ini disebabkan karena jumlah makanan yang terdapat di habitat insitu sangat terbatas dan ketersediaannya dipengaruhi oleh banyak faktor.
Banteng merupakan satwa herbivor, sehingga membutuhkan adanya padang penggembalaan yang dijadikan sebgai sumber pakan dan pusat aktivitas. Keberadaaan padang penggembalaan ini sangat menentukan kelestarian populasi banteng.  Kualitas padang penggembalaan harus dapat dipertahankan agar populasi satwa yang ada dapat hidup secara normal dan terus menerus. Untuk itu perlu diketahui daya dukung suatu padang penggembalaan terutama dari segi kuantitas maupun kualitas hijauan makanan satwa.

1.2    Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah
·         Mengetahui pakan banteng yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon.
·         Mengetahui pola perilaku makan banteng di Taman Nasional Ujung Kulon.
·         Mengetahui teknik pengelolaan pakan banteng yang dilakukan di Taman Nasional Ujung Kulon.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi
Nama daerah lain untuk banteng adalah sapi alas (jawa), klebo, dan temadu (Kalimantan).  Menurut Alikodra (1983), secara taksonomi banteng diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom         : Animalia
Pylum              : Chordata
Class                : Mammalia
Subkelas          : Theria
Ordo                : Artidactyla
Subordo          : Ruminantia
Family             : Bovidae
Genus              : Bos
Spesies            : Bos javanicus d’ Alton 1823
2.2 Morfologi
Banteng merupakan tubuh yang tegap, besar dan kuat dengan bahu bagian depannya lebih tinggi daripada bagian belakang tubuhnya. Di kepalanya terdapat sepasang tanduk, pada banteng jantan berwarna hitam mengkilap, runcing dan melengkung simetris kedalam, sedangkan pada banteng betina bentuk tanduknya lebih kecil (Lekagul dan Mc. Neely 1977). Pada bagian dada terdapat gelambir (dewlap) yang dimulai dari pangkal kaki depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan (Alikodra 1983).
            Jenis kelamin pada banteng dapat dibedakan dari warna kulitnya. Banteng betina mamiliki warna coklat kemerahan, semakin tua umurnya semakin gelap menjadi coklat tua. Sedangkan banteng jantan memiliki warna kulit hitam, semakin tua maka warna kulitnya semakin tua. Warna banteng sangat bervariasi sesuai dengan lokasi habitatnya.
            Menurut Preffer dan Sinaga (1964) dalam Santosa (1985) berat banteng dewasa di Taman Nasional Ujung Kulon dapat mencapai 900 Kg dan tinggi bahunya kurang lebih 170 cm. Banteng jantan mempunyai ukuran tengkorak 50 cm, sedangkan betina dewasa lebih kecil dari ukuran tengkorak banteng jantan. Tinggi bervariasi menurut umur. Banteng jantan yang berumur 8-10 tahun mempunyai tinggi bahu 170 cm, sedangkan banteng betina mempunyai tinggi bahu 150 cm.
Banteng mempunyai ciri khas yaitu pada bagian pantat terdapat belanga putih, bagian kaki dari mulut ke bawah seolah-olah memakai kaos kaki berwarna putih, serta pada bagian atas dan bawah bibir berwarna putih. Banteng jantan mempunyai warna bulu hitam. Semakin tua umurnya maka semakin hitam bulunya. Pada banteng betina warna bulunya coklat kemerahan, semakin tua umurnya semakin gelap menjadi coklat tua. Warna kulit anak banteng baik betina maupun jantan lebih terang dari warna bulu banteng betina dewasa, tetapi pada banteng jantan muda (anak) warna kulitnya lebih gelap sejak berumur 12-18 bulan (Alikodra 1983).  

2.3 Perilaku
            Banteng merupakan satwa yang hidup berkelompok, biasanya terdiri dari satu ekor banteg jantan dewasa, ertindak sebagai ketua kelompok, jantan muda, betina induk, dan anak-anaknya. Banteng terkenal sebagai satwa yang mempunyai penciuman dan pendengaran yang tajam. Di waktu makan banteng sering mengangkat kepala  sambil mengibas-ngibaskan telinganya untuk mendengar apakah ada bahaya, kemudian makan lagi jika dirasa tidak ada tanda-tanda bahaya yang akan mengganggu. Apabila ada tanda bahaya, banteng yang pertama kali mendengar akan segera menghadap ke arah sumber bahaya sambil memberi isyarat kepada banteng yang lainnya. Bila ada bahaya yang mengancam, banteng-banteng muda dan betina terlebih dahulu masuk ke hutan kemudian disusul oleh banteng dewasa jantan ( Hoorgerwerf 1970).
            Dalam tiap-tiap kelompok biasanya terdapat beberapa banteng jantan muda (2-5 ekor) yang mana pada saatnya nanti, salah satunya akan menggantikan sebagai ketua kelompok. Waktu pergantian ketua kelompok, sering terjadi perkelahian, dan banteng yang kalah akan memisahkan diri dari kelompoknya dan kadang-kadang diikuti oleh beberapa betina yang setia kemudian membentuk kelompok baru (Alikodra 1983).
            Menurut Alikodra (1983), bahwa banteg mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
·         Menyukai daerah yang luas dan tidak ada gangguan alami
·         Daerah yang banyak terdapat garam; daerah yang tidak ada gangguan lalat, lebah dan lainnya.
·         Daerah moonson forest, savana, dan blang.
·         Suka hidup berkelompok.
·         Suka melakukan perjalanan jauh sambil makan dan kurang tahan terhadap terik matahari sehingga banteng sering berlindung di bawah pohon rindang didekat padang rumput/savana.

2.4 Karekteristik Habitat dan Pakan
            Habitat merupakan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya baik makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung, berkembangbiak, maupun tempat unutk mengasuh anak-anaknya (Alikodra 2002).  Satwa liar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Menurut Alikodra (1983) dalam Nugraha (2007) komponen lingkungan hidup banteng yang ideal terdiri dari hutan alam primer, semak-semak, padang penggembalaan, sumber air, hutan pantai, hutan payau dan laut.
            Pakan merupakan salah satu komponen penting yang sangat dibutuhkan satwa liar untuk dapat tumbuh dan berkembangbiak. Tumbuhan pakan yang berpotensi menjadi pakan satwa liar adalah tumbuhan yang dapat dijangkau dan dimanfaatkan oleh satwa liat tersebut. Menurut Alikodra (1983), potensi makanan (penyebaran dan nilai gizinya) di alam sangat berkaitan erat dengan kondisi musim. Banteng memiliki musim melahirkan saat menjelang musim penghujan. Hal ini disebabkan karena saat musim penghujan ketersediaan pakan melimpah sehingga mempengaruhi kondisi pertumbuhan dan kesehatan banteng. Pakan   (feed) digunakan dalam dunia satwa yang merupakan bahan – bahan organik dan organik yang dapat diubah menjadi sumber nutrisi sebagai pemenuhan kebutuhan satwa agar dapat bertahan hidup dan menghasilkan keturunan. Dalam pengelolaan pakan harus terdapat zat pakan (zat makanan) yaitu bagian dari bahan pakan yang dapat dicerna, dapat diserap, dan bermanfaat bagi tubuh (ada 6 macam zat pakan, yaitu air, mineral, karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin). Selain itu dalam pakan terdapat istilah ransum yaitu campuran 2 atau lebih bahan pakan yang disusun untuk memenuhi kebutuhan satwa selama 24 jam ( Alikodra 1983)
Alikodra (1983) menambahkan bahwa makanan mempunyai fungsi penting sebagai sumber energi untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup satwa, seperti menggantikan bagian tubuhyang rusak, memelihara fungsi-fungsi dasar tubuh, perkembangbiakan, pertumbuhan satwa muda, mempertinggi dayatahantubuh terhadap penyakit, dan lain-lain. Secara umum, keadaan pakan satwa di suatu habitat tidak selalu tersedia dengan cukup, sempurna serta merata, melainkan seringkali mengalami kekurangan, gangguan, kerusakan atau penurunan.

BAB III
METODE PENGAMBILAN DATA
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan antara lain alat tulis, buku, jurnal, skripsi, laporan, makalah, dan lain-lain.
3.3 Metode Pengambilan Data
Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah studi iteratur dari jurnal ilmiah, skripsi, makalah, buku dan laporan ilmiah lain yang dapat digunakan sebagai referensi.
3.4 Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk memperoleh data tentang keanekaragaman jenis pakan banteng, palatabilitas pada banteng dan pengelolaan pakan yang dilakukan di  kawasan konservasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman jenis pakan menjadi salah satu faktor penting sebagai pendukung adanya ketersediaan pakan. Pada umumnya banteng merupakan satwaliar yang cenderung lebih menyukai memakan rumput dibandingkan dengan memakan pucuk daun. Akan tetapi hal ini tidak dapat dijadikan faktor penentu, karena hal tersebut tergantung pada kondisi habitat yang ada disuatu wilayah. Hal ini dapat dijelaskan karena banteng merupakan satwa yang dapat menyesuaikan diri dengan habitatnya dengan baik.
Padang penggembalaan sangat penting peranannnya bagi perkembangbiakan banteng. Di Taman Nasional Ujung kulon terdapat padang penggembalaan/savana yang cukup luas. Hal ini dikarenakan banteng mempunyai ketergantungan yang cukup tinggi kepada kelestarian savana, yaitu sebagai lokas feedimg (grazing), aktivitas sosial, dan bermain.
Di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), terdapat padang penggembalaan Cidaon yang memiliki luas sekitar 6 ha. Padang penggembalaan tersebut terdiri dari dari dua vegetasi yaitu vegetasi rumput dan vegetasi semak atau herba (bukan rumput). Berdasarkan hasil analisis vegetasi di padang penggembalaan Cidaon terdapat 9 jenis rumput yaitu rumput teki, rumput jarum, rumput kawat, tapak liman, ki jampang, jampang pait, rumput kiseuseut, ki bareula, kukucayan dan 6 jenis bukan rumput (semak dan herba) yaitu antanan, amis mata, domdoman, jejerukan, meniran, jarong. Jenis vegetasi yang mendominasi diantaranya yaitu antanan (Centella asiatica), domdoman (Chrysopogon aciculatus) dan rumput teki (Cyperus brevifolia). Jenis-jenis rumuput yang trdapat di padang penggembalaan Cidaon umumnya merupakan sumber pakan banteng. Hal ini disebabakan karena banteng merupakan satwa liar yang tidak selektif dalam memilih makanan (Destriana 2008).
Hutan dataran rendah yang terdapat di TNUK memiliki keanekagaraman jenis yang tinggi. Pada tingkat semai dan tumbuhan bawah ditemukan 22 jenis dengan jenis-jenis yang mendominasi diantaranya yaitu salam (Eugenis polyantha) dan tepus (Ammomum coccineum). Pada tingkat pancang ditemukan 16 jenis dengan jenis-jenis mendominasi diantaranya yaitu peuris (Aporosa aurita) dan ki genteul (Diospyros javanica). Pada tingkat tiang ditemukan sebanyak 9 jenis dengan jenis-jenis yang mendominasi diantaranya yaitu salam dan lampeni. Sedangkan pada tingkat pohon ditemukan 14 jenis dengan jenis-jenis yang mendominasi diantaranya yaitu lampeni dan salam. Berbagai jenis tumbuhan bawah yang terdapat di hutan dataran rendah dijadikan sebagai sumber pakan bagi banteng di hutan (Destriana 2008).
Tipe hutan pantai di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK)  juga dimanfaatkan banteng untuk memperoleh makanan, beristirahat, dan juga tempat berlindung pada saat sebelum maupun setelah melakukan kegiatan mengasin di pantai. Berdasarkan hasil analisis vegetasi hutan pantai Cidaon memiliki keanekaragaman tinggi. Di lokasi tersebut ditemukan 12 jenis tumbuhan. Untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah ditemukan 10 jenis dengan jenis yang mendominasi yaitu ketapang (Terminalia catappa) dan Lampeni. Pada tingkat pancang ditemukan 7 jenis dengan jenis yang mendominai yaitu waru laut (Thespesia populnea) dan lampeni. Pada tingkat tiang ditemukan 8 jenis dengan jenis yang mendominasi yaitu malapari dan lempeni. Dan pada tingkat pohon ditemukan 7 jenis denag jenis yang mendominasi yaitu lampeni dan nyamplung (Calophyllum inophyllum) (Delfiandi 2006).
Pengelolaan pakan pada habitat insitu tidak dikelola secara periodik karena banyaknya  faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan pakan. Pola penggunaan ruang dan perilaku sosial betina sangat dipengaruhi oleh keterbatasan dan distribusi makanan dan cover. Pergerakan atau perpindahan banteng cenderung dipengeruhi oleh ketersediaan makanan.
Faktor-faktor primer yang mendorong satwa untuk bergerak agar kebutuhan fisiologisnya terpenuhi seperti rasa lapar, haus dan motivasi seksual menjadikan faktor-faktor tersebut penentu utama dari penggunaan suatu tempat atau habitat.
Cover atau pelindung merupakan komponen habitat berikutnya yang mempengaruhi pemilihan habitat oleh banteng yang nantinya berpengaruh terhadapa ketersediaan pakan. Banteng merupakan salah satu jenis satwaliar yang tidak terlalu menyukai cuaca dengan panas matahari yang terik dan umumnya mencari perlindungan dibawah tegakan hutan untuk beristirahat. Oleh karena itu pengelolaan terhadap habitat agar tidak terjadi pembalakan secara liar menjadikan keberadaan habitat tetap dalam kondisi baik dan mampu memberikan rasa aman terhadap satwaliar yang ada di kawasan tersebut.
Selain ketersediaan pakan yang cukup, banteng juga memerlukan minum dan daerah mengasin. Dapat juga diberikan sumber air buatan untuk menyediakan air untuk banteng saat musim kemarau. Sedangkan vegetasi hutan pantai dimanfaatkan banteng untuk mengasin, mengasin berfungsi pembantu dalam proses pencernaan. Oleh karena itu harus ada pembatasan pengunjung dalam daerah pantai yang biasa digunakan untuk wisata, agar banteng dapat leluasa pergi kepantai untuk mengasin.
Pengelolaan pakan yang dilakukan oleh pengelola biasanya berupa padang penggembalaan yang merupakan feeding ground buatan yang biasanya sengaja dibuka agar pengelola lebih mudah melakukan monitoring dan pembinaan satwaliar. Dengan adanya padang penggembalaan dapat membantu banteng lebih mudah dalam memperoleh pakan serta cover untuk kelangsungan hidup banteng.
BAB V
KESIMPULAN 
Banteng merupakan satwaliar yang diurnal atau aktif sepanjang siang. Banteng menghabiskan hidupnya untuk merumput dan memamah biak secara bergantian dan mulai merumput pada cuaca cerah. Oleh karena itu ketersediaan pakan yang mencukupi menjadi faktor yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup banteng karena kebutuhan pakan yang sangat banyak. Tumbuhan yang menjadi pakan banteng antara lain kawatan, brambangan, teki, bambu,wedhusan,kawatan, sidagori, paku, lamuran dan lain sebagainya. Akan tetapi, jenis pakan yang dominan menjadi sumber pakan banteng adalah pada vegetasi hutan dataran rendah. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor penentu yang disebut palatabilitas, palatabilitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu hewan itu sendiri, fase pertumbuhan, kondisi hijauan, kesempatan memilih makanan yang lain, tata cara pemupukan hijauan. Oleh karena itu hal yang dapat kita perhatikan adalah kondisi hijauan serta kandungan yang dimiliki hijauan dan kebutuhan pakan banteng.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS dan Djokowoerjo Sastradipradja. 1983. Studi Tentang Beberapa Parameter Faal Pelestarian Satwa Banteng (Bos javanicus). Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Alikodra HS. 1983. Ekologi Banteng (Bos javanicus d’Alton) di Taman Nasional Ujung Kulon [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB.
Delfiandi. 2006. Analisis Pola Penggunaan Ruang dan Wilayah Jelajah (Bos javanicus d’Alton 1832) di Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Bogor : Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Destriana HA. 2008. Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk pemetaan Kesesuaian Habitat Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) Di Taman Nasional Ujung Kulon. Bogor : Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Hoogerwerf A. 1970. Udjung Kulon: the Land of the Last Javan Rhinoceros. Leiden: EJ. Brill.
Nugraha H. 2007. Analisis Pola Penggunaan Ruang Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) Di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pangandaran, Jawa Barat. Bogor : Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

0 comments:

Post a Comment