Friday, January 23, 2015

Arti sebuah ta'aruf

"Anti aku ingin sekali memiliki istri yang cerdas, baik hatinya, baik akhlak dan agamanya sepertimu maukah kamu berta'aruf bersamaku ?"

Dag dig dug begitulah hati sang akhwat yang begitu bahagia ketika membaca pesan tersebut. Akhirnya, gayung pun bersambut. Sang ikhwan dan akhwat pun mulai rajin mengirim pesan, seperti sedang apa? sudah makan apa belum? atau bahkan mimpi indah ya? dan sebagainya. Jika ditanya mereka menjawab : kami sedang menjalani prosess ta'aruf, kami ingin saling mengenal dan kami masih mengetahui batas-batas syariat agama, karena kamu tidak ber-khulwat  dan belum sampai bertemu, hanya ssekedar kirim pesan. 

Inilah  yang sering disalah artikan oleh remaja saat ini bahkan akhir-akhir inipun para jilbaber yang ikut-ikutan. 

Yang menyisakan tanya adalah apakah hal ini diperbolehkan oleh agama? Apakah ini cara ta'aruf yang syar'i? Dan bagaimana sebenarnya ta'aruf yang syar'i itu? 

Arti Ta'aruf

“Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku li ta‘ârafû (supaya kamu saling kenal). …. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”  (QS al-Hujurât (49): 13).

   Jadi, makna dari ta'aruf adalah proses saling kenal dengan siapa pun selama hayat dikandung badan. Namun sekarang, ada banyak ikhwan yang bilang, “ta'aruf adalah perkenalan antara seorang ikhwan dan seorang akhwat yang akan menikah.” Bahkan, ada tak sedikit akhwat yang ngomong, “ta'aruf adalah proses pendekatan selama maksimal tiga bulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang akan menikah.” Aneh, ya? (Bukan hanya aneh, malah bisa jadi bid'ah sesat) .

Islam tidak melarang ta’aruf, dalam sebuah hadits disebutkan, “Dari Anas bin Malik bahwa Al-Mughirah bin Syu’bah ingin menikah seorang wanita, maka Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berkata kepadanya, “Pergi lalu lihatlah dia, sesungguhnya hal itu menimbulkan kasih sayang dan kedekatan antara kalian berdua.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no 1938 dan dishahihkan oleh Syekh al-Albani – rahimahullah – dalam Shahih Ibnu Majah).

Rambu-rambu ta’aruf

Ta’aruf bukanlah pernikahan yang menghalalkan apa yang dihalalkan bagi pasangan suami istri. Ta’aruf hanyalah proses pra pernikahan, maka selama akad nikah belum diikrarkan, maka mereka berdua adalah dua orang yang bukan mahram harus menjaga adab-adab islam.
Namun, belakangan ini, ta’aruf mengalami penyempitan makna, karena telah diselewengkan kepada makna pacaran yang jelas-jelas diingkari oleh islam. Islam tidak mensyariatkan pacaran untuk menempuh ke jenjang pernikahan. Namun islam mensyariatkan ta’aruf sesuai batasan-batasan syariat. Ta’aruf yang benar adalah dengan langkah sebagai berikut:

1. Mengenal calon pasangan hidup
Pihak lelaki mencari keterangan tentang biografi, karakter, sifat, atau hal lain pada wanita yang ingin ia pinang melalui seseorang yang mengenal baik tentangnya demi maslahat pernikahan. Bisa dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang, seperti istri teman atau yang lainnya. Demikian pula dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berkeinginan meminang dapat menempuh cara yang sama. Dalam menempuh langkah pertama ini, perlu memerhatikan beberapa perkara antara lain:
  • Tidak berkhulwat (berdua-duaan) dalam mencari informasi secara langsung dari wanita terkait dan sebaliknya. Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menegaskan, “Dan janganlah seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali jika sang wanita bersama mahramnya (Riwayat al-Bukhari no. 3006 dan Muslim 1341). Kemudian Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – kembali menjelaskan hikmah dari larangan ini dalam sabdanya, “Tidaklah seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali setan adalah orang ketiga di antara mereka berdua.” (Riwayat Ahmad 1/18, Ibnu Hibban (lihat Shahih Ibnu Hibban 1/436))
  • Tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa menjerumuskan seseorang ke kubangan perzinaan apalagi perbuatan zina itu sendiri dengan berbagai macam bentuknya.
  • كُتِبَ عَلىَ ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا اْلاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
  • “Telah ditulis bagi tiap anak Adam bagiannya dari zina, dia pasti akan melakukan, yaitu kedua mata berzina dengan memandang, kedua telinga berzina dengan mendengar, lisan berzina dengan berbicara, tangan berzina dengan memegang, kaki berzina dengan melangkah, sementara hati berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluanlah yang membenarkannya atau mendustakannya.” (Riwayat al-Bukhari, lihat Shahih Targhib wa Tarhib II/398)
  • - Tidak ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita bukan mahram)
2.  Nazhar (melihat calon pasangan hidup)
Setelah menemukan kecocokan dan sebelum khitbah, bagi lelaki disunahkan melihat wanita yang ingin ia nikahi. Hal ini karena bermodalkan informasi saja terkadang tidak cukup, karena kondisi seseorang atau kecantikan seseorang itu relatif. Bisa saja cantik menurut kacamata seseorang, namun tidak cantik menurutnya. Sehingga Syekh Utsaimin – rahimahullah – menegaskan, “Sesungguhnya penglihatan orang lain tidak mewakili penglihatan sendiri secara langsung. Bisa jadi seorang wanita cantik menurut seseorang namun tidak cantik menurut orang yang lain”. (Syarhul Mumti’ XII/20)
Saat seorang lelaki ingin wanita yang akan ia khitbah, maka ia harus memperhatikan rambu-rambu nazhar yang telah dijelaskan oleh Syekh Utsamin – rahimahullah – dalam Syarhul Mumti’ XII/22 sebagai berikut :
  • Tidak berkhalwat (berdua-duaan) dengan sang wanita tatkala memandangnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya. ” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)
  • Untuk menjauhi khalwat ketika nazhar, maka ia bisa melihat wanita yang ingin ia pinang ditemani wali si wanita atau jika tidak mampu maka ia bisa bersembunyi dan melihat wanita tersebut di tempat di mana ia sering melalui tempat tersebut.
Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)
  • Hendaknya memandangnya dengan tanpa syahwat, karena nazhar (memandang) wanita ajnabiyah karena syahwat diharamkan. Selain itu, tujuan dari melihat calon istri adalah untuk mengetahui kondisinya bukan untuk menikmatinya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي مَا يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
“Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya. ” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 99)
  • Hendaknya ia memiliki prasangka kuat bahwa sang wanita akan menerima lamarannya.
  • Hendaknya ia memandang kepada apa yang biasanya nampak dari tubuh sang wanita, seperti muka, telapak tangan, leher, dan kaki.
  • Hendaknya ia benar-benar bertekad untuk melamar sang wanita. Yaitu hendaknya pandangannya terhadap sang wanita itu merupakan hasil dari keseriusannya untuk maju menemui wali wanita tersebut untuk melamar putri mereka. Adapun jika ia hanya ingin berputar-putar melihat-lihat para wanita satu per satu, maka hal ini tidak diperbolehkan.
  • Hendaknya sang wanita yang dinazharnya tidak bertabarruj, memakai wangi-wangian, memakai celak, atau yang sarana-sarana kecantikan yang lainnya.

3. Khitbah (Peminangan)
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya. Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya). ” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ
“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan). ”
Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita, atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)
Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Jangankan duduk berbicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita pun masih dapat mendatangkan fitnah.

Ta'aruf via media sosial
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa hukum asal media sosial adalah mubah. Namun, ia bak pisau bermata dua. Artinya, jika tidak digunakan sebagaimana mestinya, bisa saja pisau tersebut menyembelih si empunya. Jika seseorang memandang dirinya lemah, tidak mampu menggunakan dalam kebaikan, maka meninggalkan media sosial tentunya lebih utama, apalagi ketika seseorang membuka media sosial, minimal ia akan melihat wanita-wanita bukan mahram yang pamer aurat.

Lalu bagaimana jika digunakan sebagai sarana ta’aruf? Jika kita mau mencermati, niscaya kita dapatkan bahwa media sosial memiliki beberapa kerusakan, yaitu:

Rawan tipuan, karena kebenaran biodata, foto, dan data-data lainnya berkaitan dengan pemilik akun tersebut tidak bisa dijamin kebenarannya. Siapa sangka pemilik akun berbeda dengan aslinya. Selain itu, kebenaran dan ketulusan niat mereka dalam ber-ta’aruf juga tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sungguh banyak sekali, ikhwan-ikhwan yang hanya uji coba atau iseng belaka atau mungkin hanya ingin mempermainkan si wanitanya. Bahkan yang lebih parah lagi, banyak juga para lelaki yang menyamar sebagai wanita dalam akun media sosialny kemudian mengikuti grup-grupmedia sosial  khusus bagi wanita.

Khulwat, karena tidak jarang antara dua orang lawan jenis yang saling kirim data, pesan, atau bahkan mungkin memanfaatkan video call yang disediakan. Tentunya hal ini lebih bahaya daripada pertemuan langsung, karena khulwat via media sosial lebih tersembunyi dan lebih leluasa untuk menyampaikan apa yang ia kehendaki.
 
Diantara syarat ta’aruf adalah tidak melakukan perzinaan dengan segala macam bentuknya.  Kedua mata berzina dengan memandang, padahal media sosial banyak menyuguhkan fasilitas kirim foto dan video. Kedua telinga berzina dengan mendengar, padahal media sosial pun bisa saling mendengarkan suara tanpa didengar oleh orang lain. Lisan berzina dengan berbicara, padahal media sosial juga memberikan fasiltas untuk saling berbicara. Kalaupun semua ini tidak ada, maka minimal hati seseorang telah berzina, karena telah berangan-angan.
Ketiga hal ini mungkin bisa dikatakan tidak mungkin terlepas dari media sosial yang digunakan sebagai sarana ta’aruf. Sehingga, jika tiga hal ini ada atau syarat-syarat ta’aruf di atas belum terpenuhi maka menggunakan media sosial sebagai sarana ta’aruf tidak boleh. Kecuali jika seseorang bisa menjamin bisa bersih dari tiga hal ini dan bisa memenuhi syarat-syarat ta’aruf di atas.

Demikianlah Pacaran Berkedok Ta'aruf


0 comments:

Post a Comment